Welcom to...........

HMI Komisariat Ahmad Dahlan I (ADI)

Minggu, 01 Januari 2012

Bisikan Jibril; Komunikasi Transenden dan Kelahiran Lekstur Al-Qur'an dalam Nalar Islam


"Muhammad tak dapat mengelak dari makhluk bersayap yang tiba-tiba berada di hadapannya, ia hanya tertegun saat dadanya terasa sesak dan pikirannya merespon kata-kata yang tak ia pahami menyelinap di kepalanya ”bacalah (iqra), kondisi reseptifnya berubah-ubah seperti grafik yang terus bergerak, membuat lidahnya kelu . Pikirannya berkata bahwa ia bukan Qari yang majnun, jiwanya tertekan hingga hampir hilang kesadaran, kemudian dilepaskan, untuk kedua kalinya makhluk itu memaksa dengan kalimat yang sama membuat membran di otaknya menginstruksikan untuk mengeja kalimat itu lagi. Kali ini Pikirannya dikacaukan oleh mitos-mitos yang berkembang di komunitasnya, sehingga ia tak kuasa untuk menggerakkan bibirnya, ketiga kalinya makhluk itu menyuruhnya mengucapkan sesuatu, namun tetap saja ia tak mampu menirukan bisikan halus itu yang mulai mengalir ke dalam hatinya, bahkan ia tak menyadari kondisinya tengah tertidur atau tengah terjaga. Namun hatinya telah menerima syair yang indah bahkan sajak yang paling populer di zamannya tak mampu menandinginya"


Ayat-ayat Pengantar dan Akhir Kenabian.
 Menurut Geneologi Al-qur’an, ada dua tipologi kelompok masyarakat Arab pra- Islam yang menguasai Jazirah Arab. Pertama, penduduk keturunan Ibrahim dan Hajar dari garis keturunan Ismail, dikenal dengan bangsa Nabatea yang menghuni daerah Waad (QS.14:37), yang berarti daerah lembah yang menampung banyak air, daerah ini terletak di wilayah utara, umumnya mereka telah hidup menetap dengan cara bertani dan berdagang; kedua, penduduk daerah perbukitan terjal dan gurun, Ibnu Katsir menyebutnya suku Jurhum dan suku-suku Aram yang diistilahkan al-qur’an dengan Shahra (Qs. 89:9)’, daerah ini terletak di daerah bagian tengah hingga selatan, sebagian dari mereka dikenal dengan suku Baduwi yang umumnya mempunyai gaya hidup berpindah-pindah.
 Letak jazirah yang strategis, yaitu sebelah barat berbatasan dengan laut merah, sebelah timur dibatasi teluk Persia, sebelah selatan dibatasi lautan India, dan sebelah utara dibatasi Suriah dan Mesopotamia, menjadikannya trade-route yang telah lama diramaikan dengan perdagangan, hingga saat ini kawasan tersebut dikenal dengan sebutan Hijaz. Hijaz 610 M, dikuasai Salah satu suku (Qabilah) Quraisy yang menguasai sebagian besar sektor ekonomi, mereka telah menetapkan hukum perbudakan, sistem pasar dan konsep agama yang umumnya dihasilkan melalui consensus suku di jazirah (ijma’). Mereka telah lama hidup berdampingan dan setiap masalah yang ada umumnya diselesaikan melalui cara-cara adat dan rekonsiliasi di bait nadwah. Lokasi Bait nadwah sendiri terletak di kawasan ka’bah yang menjadi simbol religiusitas dengan adanya dewa-dewa pra-Islam.
 Menurut Al-Syahrastani, terdapat 360 berhala di sekitar Ka'bah, yang paling terkenal adalah Hubal (Dewa Bulan) yang dibawa oleh Amr bin Lahi dari Belka di Syiria ke Arabia dengan tujuan agar bisa mendatangkan hujan. Hubal dianggap wasilah kepada Allah dan Banat berupa dewi-dewi Latta (dewi Kesuburan) mempunyai kuil besar di Hijaz, Uzza (yang Perkasa) memiliki altar suci di thaif dan nakhlah, dan Manat (Penentu Nasib dan keberuntungan) di sembah di Qudlaidh. Penduduk Hijaz menyembah dewi Latta yang mempunyai kedudukan sebagai Dewi Semit garis ibu, dewi kesuburan, dan dewi langit terutama di kawasan Semit barat. Penduduk dari seluruh jazirah tidak hanya untuk berdagang ke Mekkah namun juga untuk menyembah dewa Hubal dan replika dewi-dewi tersebut, karena penyembahan Banat Allah bersifat teritorial. Sehingga ketika mereka melewati kawasan tertentu yang penduduknya menyembah Uzza misalnya mereka diperintahkan untuk berkorban atau memberikan penghormatan. Hal itu berarti selain memiliki konsep keyakinan Pagan mereka juga cenderung polytheist.
 Sementara itu, bukit Shafa menjadi simbol pluralisme di zamannya, dengan adanya berbagai berhala lainnya yang berasal dari segala penjuru jazirah, seperti Suwa’, Wadd, Ya’uq, Allat, Dzu al-Shara, al-Qais, dan masih banyak lagi. karena itu Hijaz juga dikenal dengan garis persinggungan agama-agama dan pusat budaya jazirah Arab.
Bisikan Namus (Jibril), Pernyataan Seorang Nestorian.
 Muhammad bin Abdullah, pada awalnya hanyalah salah seorang pedagang yang sukses di Hijaz, beristrikan janda bernama Khadijah diselimuti kegelisahan selama beberapa tahun belakangan. Kegundahan yang sama pernah terjadi pada nabi-nabi Ibrani dalam sejarah Biblikal, keresahan yang sama pernah menimpa Ibrahim di Fa'dam Aram Babylonia dan kegundahan yang sama dengan Musa saat ia menjadi putra fir’aun di Mesir. Selama hampir lima tahun ia sering berkontemplasi mengikuti sekte Ibrahim atau warisan monoteisme diteruskan oleh tradisi Arab setempat yang disebut kaum “Hanif” yang minoritas di kawasan Syiria yang hampir dilupakan komunitasnya, --- Istilah Arab Hanif sendiri, berasal dari bahasa Suryani (hanfe) --- Hingga pada suatu hari yang tak mungkin ia lupakan, ia melihat penampakan yang berbeda dengan Mitologi Arab yang berkembang. Muhammad tak dapat mengelak dari makhluk bersayap yang tiba-tiba berada di hadapannya, ia hanya tertegun saat dadanya terasa sesak dan pikirannya merespon kata-kata yang tak ia pahami menyelinap di kepalanya ”bacalah (iqra), kondisi reseptifnya berubah-ubah seperti grafik yang terus bergerak, membuat lidahnya kelu .
 Pikirannya berkata bahwa ia bukan Qari yang majnun, jiwanya tertekan hingga hampir hilang kesadaran, kemudian dilepaskan, untuk kedua kalinya makhluk itu memaksa dengan kalimat yang sama membuat membran di otaknya menginstruksikan untuk mengeja kalimat itu lagi. Kali ini Pikirannya dikacaukan oleh mitos-mitos yang berkembang di komunitasnya, sehingga ia tak kuasa untuk menggerakkan bibirnya, ketiga kalinya makhluk itu menyuruhnya mengucapkan sesuatu, namun tetap saja ia tak mampu menirukan bisikan halus itu yang mulai mengalir ke dalam hatinya, bahkan ia tak menyadari kondisinya tengah tertidur atau tengah terjaga. Namun hatinya telah menerima syair yang indah bahkan sajak yang paling populer di zamannya tak mampu menandinginya.
Setelah mendengar pernyataan Waraqah bin Naufal bahwa makhluk yang memaksanya membaca itu adalah Namus (Jibril), salah satu Malaikat yang pernah diutus kepada Musa, saat itu Muhammad belum menyadari apa yang akan ia hadapi, seperti ia pun belum mengira bahwa sekarang ia tidak lagi berbicara atas nama qabilahnya, bahkan ia pun tak mengetahui syair apa yang ia terima. Namun ia mulai merasakan bahwa hari-hari yang akan ia hadapi tidak akan pernah sama dengan kemarin dan Ia mencoba melewati hari itu dengan cara yang wajar, akan tetapi intuisinya menggerakannya untuk mencari informasi tentang 5 bait syair indah yang tertanam di relung hatinya dan mulai mengaguminya setiap saat ia mengingat bait-baitnya.
 Para Ulama berpendapat bahwa peristiwa Tanzil (Revelation), 5 ayat pengantar ini, secara intertekstual dinarasikan oleh Surat Al-Qadr, yang menyebutkan bahwa peristiwa tersebut merupakan sesuatu yang gemilang dan mulia sepanjang sejarah peradaban manusia, melalui Al-qur’an kita dapat menemukan fenomena dan cara-cara ilahiyah (Minhaj Ilahiyah) bahwa pada awalnya Al-qur’an merupakan Korpus yang transenden, ditempatkan di Lauh Mahfudz. Melalui Jibril Khususnya 5 ayat ini diturunkan melalui proses dialogis dan disematkan ke dalam hati Rasulullah. sejumlah ayat dalam Al-qur'an menyatakan bahwa Al-qur'an diturunkan melalui cara-cara bertahap dan kondisional, untuk itu marilah kita diskusikan ayat-ayat berikut ini:
 Bacalah! Dengan Nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
 Al-‘Alaq (Segumpal darah), merupakan kategori Surat permulaan yang mencoba merestorasi ajaran monotheisme dan menjelaskan serta merekonsiliasi perseteruan Yudeo-Kristen dan agama-agama lainnya, selama berabad-abad terhadap ajaran masing-masing. Pada waktu, Rasulullah menerima wahyu, mulanya hanya berjumlah (5) ayat, maka wajar jika Surat Al-Alaq disebut wahyu permulaan, dilihat dari pilihan katanya (diksi), Ayat ini diturunkan untuk mempermasalahkan konsepsi materialis Arab pra-Islam (Dahr), pemurnian ritual kepada Tuhan, sejarah peradaban manusia, proses biologis kejadian manusia dan salah satu sifat Ketuhanan serta cara-cara untuk mengenalnya. Semangat dan pesan dalam ayat (1) ini, yang berfungsi untuk mendekonstruksi asumsi-asumsi komunitas Jazirah pra-Islam bahwa kehidupan adalah proses sederhana yang bergantung sepenuhnya pada alam dan materialism, Mereka tidak mempercayai kehidupan akhirat akan tetapi mereka lebih mempercayai dahr (nasib, takdir, waktu) yang mereka sebut sebagai satu-satunya proposisi kehidupan. Berdasarkan hal diatas, dapatlah kita uraikan bahwa Rabb tidak hanya mendidik paradigma agar mampu memahami tapi juga Dia telah menentukan hukum-hukum alam berdasarkan ketentuan yang proporsional dan senantiasa memelihara semesta dengan proses yang rasional dengan kehendak-Nya.
 Secara semantic lekstur ‘Iqra’ selain ‘membaca’ juga berarti merangkai, seperti dalam kalimat “rangkailah pelepah kurma yang terpisah itu”, tidak ada hambatan untuk mengumpulkan objek-objek terlebih dahulu, menelitinya satu persatu atau dengan cara yang terpikirkan begitu saja, menyusunnya sehelai demi sehelai dan menghubungkannya dengan objek-objek lainnya, baik dengan satu jalan atau pun banyak cara. Perubahan makna merangkai menjadi membaca adalah karena sifatnya yang menghimpun keterpisahan objek-objek yang bias agar terlihat dan dapat dimaknai. Selain itu lekstur ‘Iqra’ juga dapat diartikan dengan mensintesiskan, mengintegrasikan dan menghimpun serta melakukan interkoneksi dengan realitas, intertekstualisasi dan resonansi pengalaman-pengalaman subjektif serta mengkontekstualisasikan wahyu (Ta’wil). Karena itu, ayat (1) di fase pertama kenabian ini dapat dihubungkan dengan Surat Al-Jatsiyah (2-6) sebagai sesuatu yang ekstra lingual dan diakronik. Proses membaca selanjutnya, adalah melakukan interkoneksi terhadap realitas sejarah agama-agama baik secara diakronik atau pun sinkronik, Sejarah yang bersifat sinkronik adalah perubahan pada saat tertentu, sehingga sejarah dilihat sebagai sebuah penggalan peristiwa (untuk melihat hal ini memerlukan Asbabun Nuzul) dan sejarah yang besifat diakronik adalah melihat perubahan sebagai peristiwa yang saling berkesinambungan, yang terjadi dalam jangka waktu panjang (Tafsir maudhu’i dan melakukan Sintesis dengan pengalaman subjektif serta menganalisisnya untuk memperoleh objektivikasi.
 Karena itu, saat kita mulai membaca ayat (1) ini, merangkainya dan menghubungkannya dengan pengalaman-pengalaman kita, mencari tautan dengan realitas yang kita hadapi, pada saat yang sama kita meresapi setiap peristiwa sejarah seperti saat gugusan ayat ini menyentuh pribadi Nabi dan secara psikologis membangkitkan kesan yang berbeda bagi kita saat ini. Membaca (qara’a) bukanlah melantunkan (taa-la), karena membaca berarti menuntut keterbukaan hati dan pikiran untuk menerima pengetahuan yang baru, kita pun harus rela menanggalkan atribut-atribut keilmuan yang telah usang seperti mengganti air di dalam sebuah gelas, mencucinya dan digantikan dengan air yang baru. Melalui Cara-cara mengintegrasikan, meresonansikan teks dengan ide dan realitas yang ada hingga dapat dipahami baik secara rasional dan intuitif, mistis dan metafisis, falsafati dan dogmatis.
 Dalam konteks Sejarah agama-agama ayat, Bacalah! Dengan Nama Tuhanmu yang telah menciptakan (QS.96:1), menjelaskan secara sinkronik konsepsi kenabian Muhammad lintas Yudeo-Kristen yang saling mengklaim dirinya sebagai satu-satunya otoritas kebenaran. Islam datang sebetulnya bukan hal baru melainkan telah termaktub dala kitab-kitab sebelumnya untuk mengakhiri perseteruan mereka. Menurut Al-qur’an, perseturuan mereka dipicu karena perubahan prinsipil dalam konsep-konsep teologis dan eskatologis sehingga mengubah ajaran-ajaran yang semula murni dari Nabi-nabi Patriarch dan Biblikal. Ibarat, jalan air dari pegunungan yang sejuk namun di tengah aliran air tersebut dikotori pengembara sehingga air yang sampai ke lembah sudah tidak murni akan tetapi telah terpengaruh unsur-unsur yang menyempal dari asalnya. Agama-agama transcendental selain agama Biblikal dan Patriarch pun telah mengalami perubahan dan berdialektika dengan sejarahnya serta menyamarkan teks-teks tentang kenabian Muhammad, sementara Nabi-Nabi yang diutus pada kenyataannya di masa lalu hanya untuk komunitas tertentu.
 Dalam hal ini, Islam adalah asal sekaligus muara agama-agama. Karena dunia memerlukan satu jalan, ketentraman dalam satu bahtera dan tatanan dunia baru yang dibangun dengan menyebut Nama Rabb sebagai langkah pertamanya dan diakhiri dengan memuji kepada-Nya. Bukan atas Nama yang lain (Qs. 12:40) dan isme-isme yang absurd (Qs. 53:23). Dilihat dari peletakan (diksi) kata “Rabb” (Pemelihara semesta) yang dipilih, bukan kata ilah (Tuhan) yang lebih bernuansa ikonoklastik untuk mengkomunikasikan eksistensi-Nya pertama kali, terkait dengan cara pandang hidup komunitas Jazirah waktu itu, terutama Hijaz dan kita saat ini, kata Rabb disebutkan juga dalam bentuk plural “arbab” (Qs.9:31). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah kata “Rabb” merupakan tradisi verbal yang sudah dikenal dalam sejarah (eksoterik), atau realitas yang sama sekali transenden (esoterik). Maka, selain memaknai Rabb tersebut selain mendekatinya dalam konteks linguistik perlu juga menghubungkannya dengan kata ‘khalaqa”, “Yang Menciptakan”, agar diperoleh realitas semiotis yang utuh dalam ayat tersebut dan mencari padananan lain bentuk verb (khalaqa) seperti ayat 1 diatas, yaitu pada (Qs. 6:8), melalui kata “yakhluqu” senantiasa menciptakan sesuatu yang tidak kamu mengetahuinya.
 Dalam konteks ini, kita memerlukan interpretasi sintesis antar (2) ayat tersebut sehingga mampu memunculkan kesimpulan yang terintegrasi namun tidak membatasi kekuasaan kreatif-Nya. Karena Pada satu titik. Proposisi yang dibiarkan tidak sempurna di ujung ayat (1) diatas secara sintaksis mengisyaratkan ketakterbatasan, dan rencana-rencana penciptaan, Dia memelihara semesta dengan menciptakan. Pilihan kata dengan bentuk waktu lampau (fiil Madli) mengindikasikan bahwa dalam proyeksi yang relatif tahapan penciptaan Allah telah selesai, kewajiban manusia adalah menjaga harmoni kreasi-Nya dalam equilibrium yang Dia telah menetapkannya, akan tetapi pada perkembangannya (Qs. 6:8) menjelaskan bahwa penciptaannya bersifat kontinuitas, serasi dan seimbang. Hal ini berarti bahwa ayat (1) tersebut menunjukan tentang penciptaan alam semesta secara universal, malaikat, malaikat, Adam dan mahluk-mahluk lainnya dalam waktu enam hari yang dikenal dalam sejarah agama-agama.
 Berdasarkan hal diatas, dapatlah kita uraikan bahwa Rabb tidak hanya mendidik paradigma agar mampu memahami tapi juga Dia telah menentukan hukum-hukum alam berdasarkan ketentuan yang proporsional dan senantiasa memelihara semesta dengan proses yang rasional dan kehendak-Nya. Inilah yang saya sebut sebagai realitas Al-qur’an, mengekskalasikan makna sejarah manusia dalam pencariannya kepada Tuhan, karena hakikat hidup manusia adalah berada di jalan setapak menuju Tuhannya, maka ia akan senantiasa terketuk hatinya untuk bertuhan dan menyandarkan pada cara-cara mencari kebenaran, sedangkan kebenaran adalah Tuhannya yang menciptakan.
 Dia telah menjadikan manusia dari segumpal darah yang menggantung,
 Keterpisahan ayat (1) dan (2) yang dapat saja disatukan seperti “bacalah atas nama tuhanmu yang telah menciptakan dan menjadikan manusia dari segumpal darah”. Memberikan makna lain di setiap sudut ayatnya, seakan mengindikasikan proses yang terpisah antara penciptaan semesta dan manusia sebagaimana sejarahnya yang disebut dalam kisah-kisah Biblikal. Terlepas dari semua itu, pada intinya ayat-ayat ini terformulasi sebagai ayat yang berfungsi untuk memperkenalkan Tuhan kepada warga jazirah yang kepalanya penuh dengan air yang berlumut, skeptis dan ingin menentukan jalannya sendiri, mereka bukan tidak memahami pernyataan Muhammad namun karena keinginan untuk mempersatukan pemahaman-pemahaman masa lalu yang didukung oleh semangat kesukuan yaitu melalui konvensi baik dalam persoalan keyakinan atau pun dalam masalah yang berkenaan dengan interaksi antar suku di jazirah, jika mereka yang buta huruf saja dapat mengerti pesan-pesan ilahiyah, akan sangat memalukan jika kita tidak mampu memaknai karena allah telah memperkenalkan diri dengan kreasi-Nya yang tak terbatas.
 Penyebutan kembali kata “khalaqa” (menciptakan) di ayat (2) ini memberikan pengaruh psikologis kepada mereka yang membacanya. Menjinakan pikiran-pikirannya agar melihat jauh ke sudut hatinya karena ia akan dihadirkan pada proyeksi-proyeksi ilmiah dan biologis dalam sebuah sintatik nada yang teratur, suara yang samar ditengah (ikhfa) letupan citra-bunyi di awal dan akhir (qalqalah) yang membingkai keindahannya agar mudah untuk diingat dan membekas di hati setiap orang yang membacanya, meniupkan keseimbangan di tiap sisi-sisinya dan mengkonsepsikan humanisme transcendental serta kesetaraan di hadapan-Nya yang tersusun serasi di balik pendar ayat-ayat tersebut. Kata 'Al-Insan', dalam arti yang paling sederhana menceritakan tentang generasi pertama keturunan Adam, karena dari generasi pertama itulah, kehidupan manusia dimulai, sementara dalam pengertian yang lebih luas, ayat ini menunjukan pada kita mengenai manusia ilmiah dan religius yang padu dan sempurna, mempunyai kemampuan mistis, rasional, nalar ilmiah, bercita rasa seni dan diciptakan melalui proses panjang dan rumit. Manusia adalah makhluk-Nya yang mampu belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri serta mengenal Allah dengan potensi yang berbeda itu. Al-Insan adalah manusia yang telah jauh melampaui dirinya dan pikiran-pikirannya seakan mampu mengekplanasikan ruang-ruang yang tak berbatas dengan tahap evolusi berpikir yang luar biasa.
 Sementara di ujung ayat (2) ini, Al-qur’an memperlihatkan objektivitas ilmiah tentang proses penciptaan manusia, Allah berkehendak menjadikan embrio tetap 'bergelayut' di rahim dengan kehendak-Nya juga terdapat embrio yang tak mampu bertahan sebagai sebuah gambaran bahwa kehadiran kita tidak mungkin ada tanpa pertolongan-Nya. Muatan-muatan yang terkandung di ayat (2) ini, mempengaruhi penghayatan kita mengenai kedirian dan hakikat manusia yang tak berdaya dan tak berharga. Meskipun saat ini ia memiliki kedudukan dan status social yang tinggi, ia tak lebih dari segumpal darah dan tak berkuasa jika suatu saat dikembalikan pada kondisi sebelum ia hidup. Ia bahkan tak mampu menolak jika umurnya sudah ditentukan, tidak dapat diperpanjang dan meminta penangguhan.
Ayat ini pun berbicara banyak kepada kita tentang proses biologis kematangan janin. Itulah yang sekilas terlihat, Seakan alqur’an meloncat dari sejarahnya karena bagaimana orang-orang Arab di masa lalu dapat memahami kejadian tersebut. Pada tahap ini, Al-qur’an memaksa pikiran mereka untuk diam dan terhenyak agar terbantahkanlah paradigma mereka dalam memandang budak sahayanya, menggugah pikirannya agar mampu merenungkan mengapa majikan memperbudak seseorang yang terlahir dari jenis yang sama dan membuka kesadaran dalam nurani mereka tentang pengkhianatan dan pandangan-pandangan terhadap perempuan yang terlahir dari istri-istri mereka. Karenanya Berislam berarti membebaskan sekat-sekat di masyarakat untuk membangun konsep peradaban yang mendunia dan universal, mempersatukan seluruh ras manusia dalam satu konstruk masyarakat yang open-society tanpa batas geografis, demarkasi kebangsaan dan sekat etnis-kesukuan.
 Bacalah untuk Tuhanmu Paduka yang Mulya dan Pemurah,
 Setelah di ayat sebelumnya hati manusia yang berada di tepi jurang kebinasaan itu dihentakan pada Rabb Yang Menciptakan sejarah dan peradabannya. Melalui ayat ini, kesadarannya diarahkan pada sifat-sifat yang terpuji dan indah, kemurahan-Nya yang seakan hilang dari pangkuan sanubari dan bagaimana kemurahan tersebut membuktikan eksistensi-Nya. Karena seharusnya manusia tak berhak mendapatkan kemurahan Rabb yang Mengatur semesta dan memperkenankan kita untuk mereguk kembali iman yang menyejukan nurani serta hakikat yang membuka katup-katup kesadaran. Resonansi ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya merupakan titik awal pengenalan pada Tauhid Asma dan Sifat serta, melalui ayat ini Allah menyadarkan hati kita bahwa tanpa karunia-Nya kepada kita tidak mungkin kita mampu menyingkap rahasia Al-qur’an, realitas alam dan wajah-Nya. Rasulullah sendiri pun tak akan memahami ilmu-ilmu tersebut jika Allah tidak membimbingnya bahkan ada beberapa hal yang dihapus dari ingatannya.
 Sedangkan penyebutan kedua kali kata ‘iqra’ di ayat (3) ini, merupakan proses reseptivikasi pemahaman manusia dalam ruang yang tertutup timbunan ide tentang Tuhannya, nurani manusia yang terjerembab dalam jurang skeptic, yang membuat ia menutup diri dari kebenaran dan intuisinya yang telah berkarat membuatnya tak mampu menangkap makna. Lalu bagaimana Wujud kemurahan Rabb, bukti kemurahan Rabb yang tidak membiarkan makhluknya yang tercipta dari segumpal darah yang bentuknya sederhana ini, bahkan tak terlihat keberadaannya di semesta, ia seharusnya mendapatkan azab, akan tetapi sebaliknya, Dia tidak membiarkannya tersesat dan terus menerus mengorbankan anak-anaknya untuk berhala-berhala yang diyakini keramat bahkan Dia membimbing dengan penuh kesabaran terhadap mahluk yang jika Dia kehendaki bisa saja dilenyapkan dari semesta. Manifestasinya adalah diturunkannya Al-qur’an dengan cara bertahap karena Jika Al-qur’an diturunkan secara sekaligus, hal itu akan memberatkan manusia, tak akan ada seayatpun yang akan kita mampu penuhi secara konsisten dan benar. Karena itu wajar jika ia menyambut kemurahan Rabbnya dan disiksa jika ia mencari jalan lain karena tiada jalan lain.
 Menurut Faruq al-Nabhani hikmah diturunkannya Alqur’an secara gradual adalah agar Al-qur’an dapat berdialog dengan sejarah dan peradaban di zamannya, menyejarah dan mengkoreksi kehidupan manusia, senada dengan Faruq, Abdul Wahhab Khalaf menyatakan bahwa pada ranah syari’ah dikenal konsep Tadarruj fii Tasyri (bertahap dalam penerapan syariat). Karena itu sebagai wahyu Al-qur’an menjadi salah satu otoritas bagi Muslim, selain tradisi Islam yang lain seperti Hadits dan Ijtihad.
  (Rabb) Yang Mengajari dengan pelantaraan kalam.
Struktur sintaksis yang memformulasi ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya, berarti secara sekilas dalam pikiran awam kita ayat (3)dan (4) tersebut seharusnya tidak dipisahkan, ”Bacalah untuk Tuhanmu yang pemurah dan telah mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam’,(Qs. Al-Alaq (96): 4). Keterpisahan tersebut mengundang tanya bagi kita yang membacanya, karena itu setelah merangkai ayat (3) dengan Surat Al-Qalam ayat (1), mengakibatkan perluasan makna Al-qur’an dari yang semata verbal dan skriptural menjadi sesuatu yang eksistensial dan fenomenologis. Karena bagaimana pun mengintertekstualisasikan kompleksitas teks dengan teks yang lainnya, dalam keadaan tidak memiliki hubungan sejarah, konteks yang berbeda mengkonstruksi realitas sejarah yang berbeda dengan saat ayat ini diturunkan. Dalam ayat ini, kita diperkenalkan dengan Rabb berikut yang mensifati-Nya, dan diberikan celah untuk memahami perbuatan-Nya serta menjangkau-Nya dengan membekali kita kemampuan untuk memahami Teks (ayat qauliyah), Realitas (ayat Kauniyyah) dan Ide (bayan) serta merangkainya dalam hikmah sebagai titik dasar memperoleh ilmu, melalui sejarah, dan guratan di semesta serta pengalaman ruhaniyah yang hanya dapat dirasakan sesuai kedekatan dengan Allah dan penyerahan pada ilmu-Nya. Seperti halnya dalam terdapat pernyataan dengan menggunakan kalimat ‘mereka akan bertanya kepadamu’, menunjukan bahwa terdapat prevensi pengetahuan, artinya sebelum peristiwa tersebut ditanyakan telah diketahui sebelumnya.
 Terkait dengan hal disebutkan diatas, jika dihubungkan dengan surat Al-Qalam dapat kita uraikan bahwa Al-qur’an dari awal turunnya merupakan sebuah titik sejarah ilmu pengetahuan yang ditujukan agar manusia membangun peradabannya melalui menulis dan inskripsi-inskripsi pengetahuan itu diwariskan sebagai kehendak-Nya yang mengajarkan Hikmah dan Din dari masa ke masa dengan pelantaraan kalam, yang dengan guratannya ‘dicatat’ setiap ciptaan-Nya, Dia mengetahui segala sesuatu hingga tidak ada selembar daun pun yang jatuh di muka bumi ini kecuali termaktub dalam kitab yang berada di Lauh-Mahfuz, seperti halnya Rasulullah, tak pernah menyangka bahwa peristiwa Nubbuwah di gua Hira’ tersebut akan terus berlanjut sepanjang hidupnya, melewati waktu lebih kurang dua puluh tiga tahun komunikasi yang transenden antara dirinya dan Tuhan terus berlangsung, mendampinginya dalam setiap keadaan hingga akhirnya terputus dan hilang sesuai dengan penyempurnaan wahyu dan tugasnya, kita masih terus mencari makna terdalam dari keagungan wahyu ilahi tersebut.
 Mengajarkan manusia hal apapun yang tak pernah diketahui,
 Ayat (5) adalah penutup kontak pertama dengan alam tertinggi, menurut Sayyid Quthb, peristiwa ini adalah awal mula dijelaskan konsepsi keimanan, awal dari ilmu pengetahuan diajarkan dan dari ilmu itu lahirlah ilmu-ilmu lain. Inilah pertama kalinya ayat-ayat Al-qur’an yang diturunkan kepada nabi-Nya dan mengubah pribadinya sejak saat itu serta mengantarkan paradigma yang selama ini menyelimuti kita, pada keseimbangan di bawah cahaya Al-qur’an, Ayat-ayat ini adalah bait pertama dan pengantar yang akan membawa cakrawala kita pada ilmu-ilmu yang lainnya serta menjadi arah diembannya kenabian dan dimulailah komunikasi yang transenden dengan alam tertinggi. Proses ini berlangsung seketika seperti hujan yang tanpa sadar membasahi kepala kita namun membekas berupa rambut yang kuyup, begitulah wahyu pertama yang mengawali prosesi kenabian tanpa perayaan dan cenderung sederhana. wa Allahu'alam bish- shawwab.



Penulis: Saeful Rohman

1 komentar: