"Muhammad tak dapat mengelak dari makhluk bersayap yang tiba-tiba berada di hadapannya, ia hanya tertegun saat dadanya terasa sesak dan pikirannya merespon kata-kata yang tak ia pahami menyelinap di kepalanya ”bacalah (iqra), kondisi reseptifnya berubah-ubah seperti grafik yang terus bergerak, membuat lidahnya kelu . Pikirannya berkata bahwa ia bukan Qari yang majnun, jiwanya tertekan hingga hampir hilang kesadaran, kemudian dilepaskan, untuk kedua kalinya makhluk itu memaksa dengan kalimat yang sama membuat membran di otaknya menginstruksikan untuk mengeja kalimat itu lagi. Kali ini Pikirannya dikacaukan oleh mitos-mitos yang berkembang di komunitasnya, sehingga ia tak kuasa untuk menggerakkan bibirnya, ketiga kalinya makhluk itu menyuruhnya mengucapkan sesuatu, namun tetap saja ia tak mampu menirukan bisikan halus itu yang mulai mengalir ke dalam hatinya, bahkan ia tak menyadari kondisinya tengah tertidur atau tengah terjaga. Namun hatinya telah menerima syair yang indah bahkan sajak yang paling populer di zamannya tak mampu menandinginya"
Ayat-ayat Pengantar dan Akhir Kenabian.
Menurut Geneologi Al-qur’an, ada dua tipologi
kelompok masyarakat Arab pra- Islam yang menguasai Jazirah Arab. Pertama,
penduduk keturunan Ibrahim dan Hajar dari garis keturunan Ismail, dikenal
dengan bangsa Nabatea yang menghuni daerah Waad (QS.14:37), yang berarti daerah
lembah yang menampung banyak air, daerah ini terletak di wilayah utara, umumnya
mereka telah hidup menetap dengan cara bertani dan berdagang; kedua, penduduk
daerah perbukitan terjal dan gurun, Ibnu Katsir menyebutnya suku Jurhum dan
suku-suku Aram yang diistilahkan al-qur’an dengan Shahra (Qs. 89:9)’, daerah
ini terletak di daerah bagian tengah hingga selatan, sebagian dari mereka
dikenal dengan suku Baduwi yang umumnya mempunyai gaya hidup berpindah-pindah.
Letak jazirah yang strategis, yaitu sebelah barat
berbatasan dengan laut merah, sebelah timur dibatasi teluk Persia, sebelah
selatan dibatasi lautan India, dan sebelah utara dibatasi Suriah dan
Mesopotamia, menjadikannya trade-route yang telah lama diramaikan dengan
perdagangan, hingga saat ini kawasan tersebut dikenal dengan sebutan Hijaz.
Hijaz 610 M, dikuasai Salah satu suku (Qabilah) Quraisy yang menguasai sebagian
besar sektor ekonomi, mereka telah menetapkan hukum perbudakan, sistem pasar
dan konsep agama yang umumnya dihasilkan melalui consensus suku di jazirah
(ijma’). Mereka telah lama hidup berdampingan dan setiap masalah yang ada
umumnya diselesaikan melalui cara-cara adat dan rekonsiliasi di bait nadwah.
Lokasi Bait nadwah sendiri terletak di kawasan ka’bah yang menjadi simbol religiusitas
dengan adanya dewa-dewa pra-Islam.
Menurut Al-Syahrastani, terdapat 360 berhala di
sekitar Ka'bah, yang paling terkenal adalah Hubal (Dewa Bulan) yang dibawa oleh
Amr bin Lahi dari Belka di Syiria ke Arabia dengan tujuan agar bisa
mendatangkan hujan. Hubal dianggap wasilah kepada Allah dan Banat berupa
dewi-dewi Latta (dewi Kesuburan) mempunyai kuil besar di Hijaz, Uzza (yang
Perkasa) memiliki altar suci di thaif dan nakhlah, dan Manat (Penentu Nasib dan
keberuntungan) di sembah di Qudlaidh. Penduduk Hijaz menyembah dewi Latta yang
mempunyai kedudukan sebagai Dewi Semit garis ibu, dewi kesuburan, dan dewi
langit terutama di kawasan Semit barat. Penduduk dari seluruh jazirah tidak
hanya untuk berdagang ke Mekkah namun juga untuk menyembah dewa Hubal dan
replika dewi-dewi tersebut, karena penyembahan Banat Allah bersifat teritorial.
Sehingga ketika mereka melewati kawasan tertentu yang penduduknya menyembah
Uzza misalnya mereka diperintahkan untuk berkorban atau memberikan
penghormatan. Hal itu berarti selain memiliki konsep keyakinan Pagan mereka
juga cenderung polytheist.
Sementara itu, bukit Shafa menjadi simbol pluralisme
di zamannya, dengan adanya berbagai berhala lainnya yang berasal dari segala
penjuru jazirah, seperti Suwa’, Wadd, Ya’uq, Allat, Dzu al-Shara, al-Qais, dan
masih banyak lagi. karena itu Hijaz juga dikenal dengan garis persinggungan
agama-agama dan pusat budaya jazirah Arab.
Bisikan Namus (Jibril), Pernyataan Seorang
Nestorian.
Muhammad bin
Abdullah, pada awalnya hanyalah salah seorang pedagang yang sukses di Hijaz,
beristrikan janda bernama Khadijah diselimuti kegelisahan selama beberapa tahun
belakangan. Kegundahan yang sama pernah terjadi pada nabi-nabi Ibrani dalam
sejarah Biblikal, keresahan yang sama pernah menimpa Ibrahim di Fa'dam Aram
Babylonia dan kegundahan yang sama dengan Musa saat ia menjadi putra fir’aun di
Mesir. Selama hampir lima tahun ia sering berkontemplasi mengikuti sekte
Ibrahim atau warisan monoteisme diteruskan oleh tradisi Arab setempat yang
disebut kaum “Hanif” yang minoritas di kawasan Syiria yang hampir dilupakan
komunitasnya, --- Istilah Arab Hanif sendiri, berasal dari bahasa Suryani
(hanfe) --- Hingga pada suatu hari yang tak mungkin ia lupakan, ia melihat
penampakan yang berbeda dengan Mitologi Arab yang berkembang. Muhammad tak
dapat mengelak dari makhluk bersayap yang tiba-tiba berada di hadapannya, ia
hanya tertegun saat dadanya terasa sesak dan pikirannya merespon kata-kata yang
tak ia pahami menyelinap di kepalanya ”bacalah (iqra), kondisi reseptifnya
berubah-ubah seperti grafik yang terus bergerak, membuat lidahnya kelu .
Pikirannya berkata bahwa ia bukan Qari yang majnun,
jiwanya tertekan hingga hampir hilang kesadaran, kemudian dilepaskan, untuk
kedua kalinya makhluk itu memaksa dengan kalimat yang sama membuat membran di
otaknya menginstruksikan untuk mengeja kalimat itu lagi. Kali ini Pikirannya
dikacaukan oleh mitos-mitos yang berkembang di komunitasnya, sehingga ia tak
kuasa untuk menggerakkan bibirnya, ketiga kalinya makhluk itu menyuruhnya
mengucapkan sesuatu, namun tetap saja ia tak mampu menirukan bisikan halus itu
yang mulai mengalir ke dalam hatinya, bahkan ia tak menyadari kondisinya tengah
tertidur atau tengah terjaga. Namun hatinya telah menerima syair yang indah
bahkan sajak yang paling populer di zamannya tak mampu menandinginya.
Setelah mendengar pernyataan Waraqah bin Naufal bahwa
makhluk yang memaksanya membaca itu adalah Namus (Jibril), salah satu Malaikat
yang pernah diutus kepada Musa, saat itu Muhammad belum menyadari apa yang akan
ia hadapi, seperti ia pun belum mengira bahwa sekarang ia tidak lagi berbicara
atas nama qabilahnya, bahkan ia pun tak mengetahui syair apa yang ia terima.
Namun ia mulai merasakan bahwa hari-hari yang akan ia hadapi tidak akan pernah
sama dengan kemarin dan Ia mencoba melewati hari itu dengan cara yang wajar,
akan tetapi intuisinya menggerakannya untuk mencari informasi tentang 5 bait
syair indah yang tertanam di relung hatinya dan mulai mengaguminya setiap saat
ia mengingat bait-baitnya.
Para Ulama berpendapat bahwa peristiwa Tanzil
(Revelation), 5 ayat pengantar ini, secara intertekstual dinarasikan oleh Surat
Al-Qadr, yang menyebutkan bahwa peristiwa tersebut merupakan sesuatu yang
gemilang dan mulia sepanjang sejarah peradaban manusia, melalui Al-qur’an kita
dapat menemukan fenomena dan cara-cara ilahiyah (Minhaj Ilahiyah) bahwa pada
awalnya Al-qur’an merupakan Korpus yang transenden, ditempatkan di Lauh
Mahfudz. Melalui Jibril Khususnya 5 ayat ini diturunkan melalui proses dialogis
dan disematkan ke dalam hati Rasulullah. sejumlah ayat dalam Al-qur'an
menyatakan bahwa Al-qur'an diturunkan melalui cara-cara bertahap dan
kondisional, untuk itu marilah kita diskusikan ayat-ayat berikut ini:
Bacalah! Dengan Nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
Al-‘Alaq (Segumpal darah), merupakan kategori Surat
permulaan yang mencoba merestorasi ajaran monotheisme dan menjelaskan serta
merekonsiliasi perseteruan Yudeo-Kristen dan agama-agama lainnya, selama
berabad-abad terhadap ajaran masing-masing. Pada waktu, Rasulullah menerima
wahyu, mulanya hanya berjumlah (5) ayat, maka wajar jika Surat Al-Alaq disebut
wahyu permulaan, dilihat dari pilihan katanya (diksi), Ayat ini diturunkan
untuk mempermasalahkan konsepsi materialis Arab pra-Islam (Dahr), pemurnian
ritual kepada Tuhan, sejarah peradaban manusia, proses biologis kejadian
manusia dan salah satu sifat Ketuhanan serta cara-cara untuk mengenalnya.
Semangat dan pesan dalam ayat (1) ini, yang berfungsi untuk mendekonstruksi
asumsi-asumsi komunitas Jazirah pra-Islam bahwa kehidupan adalah proses
sederhana yang bergantung sepenuhnya pada alam dan materialism, Mereka tidak
mempercayai kehidupan akhirat akan tetapi mereka lebih mempercayai dahr (nasib,
takdir, waktu) yang mereka sebut sebagai satu-satunya proposisi kehidupan.
Berdasarkan hal diatas, dapatlah kita uraikan bahwa Rabb tidak hanya mendidik
paradigma agar mampu memahami tapi juga Dia telah menentukan hukum-hukum alam
berdasarkan ketentuan yang proporsional dan senantiasa memelihara semesta
dengan proses yang rasional dengan kehendak-Nya.
Secara semantic lekstur ‘Iqra’ selain ‘membaca’ juga
berarti merangkai, seperti dalam kalimat “rangkailah pelepah kurma yang
terpisah itu”, tidak ada hambatan untuk mengumpulkan objek-objek terlebih
dahulu, menelitinya satu persatu atau dengan cara yang terpikirkan begitu saja,
menyusunnya sehelai demi sehelai dan menghubungkannya dengan objek-objek
lainnya, baik dengan satu jalan atau pun banyak cara. Perubahan makna merangkai
menjadi membaca adalah karena sifatnya yang menghimpun keterpisahan objek-objek
yang bias agar terlihat dan dapat dimaknai. Selain itu lekstur ‘Iqra’ juga
dapat diartikan dengan mensintesiskan, mengintegrasikan dan menghimpun serta
melakukan interkoneksi dengan realitas, intertekstualisasi dan resonansi pengalaman-pengalaman
subjektif serta mengkontekstualisasikan wahyu (Ta’wil). Karena itu, ayat (1) di
fase pertama kenabian ini dapat dihubungkan dengan Surat Al-Jatsiyah (2-6)
sebagai sesuatu yang ekstra lingual dan diakronik. Proses membaca selanjutnya,
adalah melakukan interkoneksi terhadap realitas sejarah agama-agama baik secara
diakronik atau pun sinkronik, Sejarah yang bersifat sinkronik adalah perubahan
pada saat tertentu, sehingga sejarah dilihat sebagai sebuah penggalan peristiwa
(untuk melihat hal ini memerlukan Asbabun Nuzul) dan sejarah yang besifat
diakronik adalah melihat perubahan sebagai peristiwa yang saling
berkesinambungan, yang terjadi dalam jangka waktu panjang (Tafsir maudhu’i dan
melakukan Sintesis dengan pengalaman subjektif serta menganalisisnya untuk
memperoleh objektivikasi.
Karena itu, saat kita mulai membaca ayat (1) ini,
merangkainya dan menghubungkannya dengan pengalaman-pengalaman kita, mencari
tautan dengan realitas yang kita hadapi, pada saat yang sama kita meresapi
setiap peristiwa sejarah seperti saat gugusan ayat ini menyentuh pribadi Nabi
dan secara psikologis membangkitkan kesan yang berbeda bagi kita saat ini.
Membaca (qara’a) bukanlah melantunkan (taa-la), karena membaca berarti menuntut
keterbukaan hati dan pikiran untuk menerima pengetahuan yang baru, kita pun
harus rela menanggalkan atribut-atribut keilmuan yang telah usang seperti
mengganti air di dalam sebuah gelas, mencucinya dan digantikan dengan air yang
baru. Melalui Cara-cara mengintegrasikan, meresonansikan teks dengan ide dan
realitas yang ada hingga dapat dipahami baik secara rasional dan intuitif,
mistis dan metafisis, falsafati dan dogmatis.
Dalam konteks Sejarah agama-agama ayat, Bacalah!
Dengan Nama Tuhanmu yang telah menciptakan (QS.96:1), menjelaskan secara
sinkronik konsepsi kenabian Muhammad lintas Yudeo-Kristen yang saling mengklaim
dirinya sebagai satu-satunya otoritas kebenaran. Islam datang sebetulnya bukan
hal baru melainkan telah termaktub dala kitab-kitab sebelumnya untuk mengakhiri
perseteruan mereka. Menurut Al-qur’an, perseturuan mereka dipicu karena
perubahan prinsipil dalam konsep-konsep teologis dan eskatologis sehingga
mengubah ajaran-ajaran yang semula murni dari Nabi-nabi Patriarch dan Biblikal.
Ibarat, jalan air dari pegunungan yang sejuk namun di tengah aliran air
tersebut dikotori pengembara sehingga air yang sampai ke lembah sudah tidak
murni akan tetapi telah terpengaruh unsur-unsur yang menyempal dari asalnya.
Agama-agama transcendental selain agama Biblikal dan Patriarch pun telah
mengalami perubahan dan berdialektika dengan sejarahnya serta menyamarkan
teks-teks tentang kenabian Muhammad, sementara Nabi-Nabi yang diutus pada
kenyataannya di masa lalu hanya untuk komunitas tertentu.
Dalam hal ini, Islam adalah asal sekaligus muara
agama-agama. Karena dunia memerlukan satu jalan, ketentraman dalam satu bahtera
dan tatanan dunia baru yang dibangun dengan menyebut Nama Rabb sebagai langkah
pertamanya dan diakhiri dengan memuji kepada-Nya. Bukan atas Nama yang lain
(Qs. 12:40) dan isme-isme yang absurd (Qs. 53:23). Dilihat dari peletakan
(diksi) kata “Rabb” (Pemelihara semesta) yang dipilih, bukan kata ilah (Tuhan)
yang lebih bernuansa ikonoklastik untuk mengkomunikasikan eksistensi-Nya
pertama kali, terkait dengan cara pandang hidup komunitas Jazirah waktu itu,
terutama Hijaz dan kita saat ini, kata Rabb disebutkan juga dalam bentuk plural
“arbab” (Qs.9:31). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah kata “Rabb”
merupakan tradisi verbal yang sudah dikenal dalam sejarah (eksoterik), atau
realitas yang sama sekali transenden (esoterik). Maka, selain memaknai Rabb
tersebut selain mendekatinya dalam konteks linguistik perlu juga
menghubungkannya dengan kata ‘khalaqa”, “Yang Menciptakan”, agar diperoleh
realitas semiotis yang utuh dalam ayat tersebut dan mencari padananan lain
bentuk verb (khalaqa) seperti ayat 1 diatas, yaitu pada (Qs. 6:8), melalui kata
“yakhluqu” senantiasa menciptakan sesuatu yang tidak kamu mengetahuinya.
Dalam konteks ini, kita memerlukan interpretasi
sintesis antar (2) ayat tersebut sehingga mampu memunculkan kesimpulan yang
terintegrasi namun tidak membatasi kekuasaan kreatif-Nya. Karena Pada satu
titik. Proposisi yang dibiarkan tidak sempurna di ujung ayat (1) diatas secara
sintaksis mengisyaratkan ketakterbatasan, dan rencana-rencana penciptaan, Dia
memelihara semesta dengan menciptakan. Pilihan kata dengan bentuk waktu lampau
(fiil Madli) mengindikasikan bahwa dalam proyeksi yang relatif tahapan
penciptaan Allah telah selesai, kewajiban manusia adalah menjaga harmoni
kreasi-Nya dalam equilibrium yang Dia telah menetapkannya, akan tetapi pada
perkembangannya (Qs. 6:8) menjelaskan bahwa penciptaannya bersifat kontinuitas,
serasi dan seimbang. Hal ini berarti bahwa ayat (1) tersebut menunjukan tentang
penciptaan alam semesta secara universal, malaikat, malaikat, Adam dan
mahluk-mahluk lainnya dalam waktu enam hari yang dikenal dalam sejarah
agama-agama.
Berdasarkan hal diatas, dapatlah kita uraikan bahwa
Rabb tidak hanya mendidik paradigma agar mampu memahami tapi juga Dia telah
menentukan hukum-hukum alam berdasarkan ketentuan yang proporsional dan
senantiasa memelihara semesta dengan proses yang rasional dan kehendak-Nya.
Inilah yang saya sebut sebagai realitas Al-qur’an, mengekskalasikan makna
sejarah manusia dalam pencariannya kepada Tuhan, karena hakikat hidup manusia
adalah berada di jalan setapak menuju Tuhannya, maka ia akan senantiasa
terketuk hatinya untuk bertuhan dan menyandarkan pada cara-cara mencari
kebenaran, sedangkan kebenaran adalah Tuhannya yang menciptakan.
Dia telah menjadikan manusia dari segumpal darah yang
menggantung,
Keterpisahan ayat (1) dan (2) yang dapat saja
disatukan seperti “bacalah atas nama tuhanmu yang telah menciptakan dan
menjadikan manusia dari segumpal darah”. Memberikan makna lain di setiap sudut
ayatnya, seakan mengindikasikan proses yang terpisah antara penciptaan semesta
dan manusia sebagaimana sejarahnya yang disebut dalam kisah-kisah
Biblikal. Terlepas dari semua itu, pada intinya ayat-ayat ini terformulasi
sebagai ayat yang berfungsi untuk memperkenalkan Tuhan kepada warga jazirah
yang kepalanya penuh dengan air yang berlumut, skeptis dan ingin menentukan
jalannya sendiri, mereka bukan tidak memahami pernyataan Muhammad namun karena
keinginan untuk mempersatukan pemahaman-pemahaman masa lalu yang didukung oleh
semangat kesukuan yaitu melalui konvensi baik dalam persoalan keyakinan atau
pun dalam masalah yang berkenaan dengan interaksi antar suku di jazirah, jika
mereka yang buta huruf saja dapat mengerti pesan-pesan ilahiyah, akan sangat
memalukan jika kita tidak mampu memaknai karena allah telah memperkenalkan diri
dengan kreasi-Nya yang tak terbatas.
Penyebutan kembali kata “khalaqa” (menciptakan) di
ayat (2) ini memberikan pengaruh psikologis kepada mereka yang membacanya.
Menjinakan pikiran-pikirannya agar melihat jauh ke sudut hatinya karena ia akan
dihadirkan pada proyeksi-proyeksi ilmiah dan biologis dalam sebuah sintatik
nada yang teratur, suara yang samar ditengah (ikhfa) letupan citra-bunyi di
awal dan akhir (qalqalah) yang membingkai keindahannya agar mudah untuk diingat
dan membekas di hati setiap orang yang membacanya, meniupkan keseimbangan di
tiap sisi-sisinya dan mengkonsepsikan humanisme transcendental serta kesetaraan
di hadapan-Nya yang tersusun serasi di balik pendar ayat-ayat tersebut. Kata
'Al-Insan', dalam arti yang paling sederhana menceritakan tentang generasi
pertama keturunan Adam, karena dari generasi pertama itulah, kehidupan manusia
dimulai, sementara dalam pengertian yang lebih luas, ayat ini menunjukan pada
kita mengenai manusia ilmiah dan religius yang padu dan sempurna, mempunyai
kemampuan mistis, rasional, nalar ilmiah, bercita rasa seni dan diciptakan
melalui proses panjang dan rumit. Manusia adalah makhluk-Nya yang mampu belajar
dari kesalahan dan memperbaiki diri serta mengenal Allah dengan potensi yang
berbeda itu. Al-Insan adalah manusia yang telah jauh melampaui dirinya dan
pikiran-pikirannya seakan mampu mengekplanasikan ruang-ruang yang tak berbatas
dengan tahap evolusi berpikir yang luar biasa.
Sementara di ujung ayat (2) ini, Al-qur’an
memperlihatkan objektivitas ilmiah tentang proses penciptaan manusia, Allah
berkehendak menjadikan embrio tetap 'bergelayut' di rahim dengan kehendak-Nya
juga terdapat embrio yang tak mampu bertahan sebagai sebuah gambaran bahwa
kehadiran kita tidak mungkin ada tanpa pertolongan-Nya. Muatan-muatan yang
terkandung di ayat (2) ini, mempengaruhi penghayatan kita mengenai kedirian dan
hakikat manusia yang tak berdaya dan tak berharga. Meskipun saat ini ia memiliki
kedudukan dan status social yang tinggi, ia tak lebih dari segumpal darah dan
tak berkuasa jika suatu saat dikembalikan pada kondisi sebelum ia hidup. Ia
bahkan tak mampu menolak jika umurnya sudah ditentukan, tidak dapat
diperpanjang dan meminta penangguhan.
Ayat ini pun berbicara banyak kepada kita tentang proses
biologis kematangan janin. Itulah yang sekilas terlihat, Seakan alqur’an
meloncat dari sejarahnya karena bagaimana orang-orang Arab di masa lalu dapat
memahami kejadian tersebut. Pada tahap ini, Al-qur’an memaksa pikiran mereka
untuk diam dan terhenyak agar terbantahkanlah paradigma mereka dalam memandang
budak sahayanya, menggugah pikirannya agar mampu merenungkan mengapa majikan
memperbudak seseorang yang terlahir dari jenis yang sama dan membuka kesadaran
dalam nurani mereka tentang pengkhianatan dan pandangan-pandangan terhadap
perempuan yang terlahir dari istri-istri mereka. Karenanya Berislam berarti
membebaskan sekat-sekat di masyarakat untuk membangun konsep peradaban yang
mendunia dan universal, mempersatukan seluruh ras manusia dalam satu konstruk
masyarakat yang open-society tanpa batas geografis, demarkasi kebangsaan dan
sekat etnis-kesukuan.
Bacalah untuk Tuhanmu Paduka yang Mulya dan Pemurah,
Setelah di ayat sebelumnya hati manusia yang berada
di tepi jurang kebinasaan itu dihentakan pada Rabb Yang Menciptakan sejarah dan
peradabannya. Melalui ayat ini, kesadarannya diarahkan pada sifat-sifat yang
terpuji dan indah, kemurahan-Nya yang seakan hilang dari pangkuan sanubari dan
bagaimana kemurahan tersebut membuktikan eksistensi-Nya. Karena seharusnya
manusia tak berhak mendapatkan kemurahan Rabb yang Mengatur semesta dan
memperkenankan kita untuk mereguk kembali iman yang menyejukan nurani serta hakikat
yang membuka katup-katup kesadaran. Resonansi ayat ini dengan ayat-ayat
sebelumnya merupakan titik awal pengenalan pada Tauhid Asma dan Sifat serta,
melalui ayat ini Allah menyadarkan hati kita bahwa tanpa karunia-Nya kepada
kita tidak mungkin kita mampu menyingkap rahasia Al-qur’an, realitas alam dan
wajah-Nya. Rasulullah sendiri pun tak akan memahami ilmu-ilmu tersebut jika
Allah tidak membimbingnya bahkan ada beberapa hal yang dihapus dari ingatannya.
Sedangkan penyebutan kedua kali kata ‘iqra’ di ayat
(3) ini, merupakan proses reseptivikasi pemahaman manusia dalam ruang yang
tertutup timbunan ide tentang Tuhannya, nurani manusia yang terjerembab dalam
jurang skeptic, yang membuat ia menutup diri dari kebenaran dan intuisinya yang
telah berkarat membuatnya tak mampu menangkap makna. Lalu bagaimana Wujud
kemurahan Rabb, bukti kemurahan Rabb yang tidak membiarkan makhluknya yang
tercipta dari segumpal darah yang bentuknya sederhana ini, bahkan tak terlihat
keberadaannya di semesta, ia seharusnya mendapatkan azab, akan tetapi
sebaliknya, Dia tidak membiarkannya tersesat dan terus menerus mengorbankan
anak-anaknya untuk berhala-berhala yang diyakini keramat bahkan Dia membimbing
dengan penuh kesabaran terhadap mahluk yang jika Dia kehendaki bisa saja dilenyapkan
dari semesta. Manifestasinya adalah diturunkannya Al-qur’an dengan cara
bertahap karena Jika Al-qur’an diturunkan secara sekaligus, hal itu akan
memberatkan manusia, tak akan ada seayatpun yang akan kita mampu penuhi secara
konsisten dan benar. Karena itu wajar jika ia menyambut kemurahan Rabbnya dan
disiksa jika ia mencari jalan lain karena tiada jalan lain.
Menurut Faruq al-Nabhani hikmah diturunkannya
Alqur’an secara gradual adalah agar Al-qur’an dapat berdialog dengan sejarah
dan peradaban di zamannya, menyejarah dan mengkoreksi kehidupan manusia, senada
dengan Faruq, Abdul Wahhab Khalaf menyatakan bahwa pada ranah syari’ah dikenal
konsep Tadarruj fii Tasyri (bertahap dalam penerapan syariat). Karena itu
sebagai wahyu Al-qur’an menjadi salah satu otoritas bagi Muslim, selain tradisi
Islam yang lain seperti Hadits dan Ijtihad.
(Rabb) Yang Mengajari dengan pelantaraan kalam.
Struktur sintaksis yang memformulasi ayat ini merupakan
kelanjutan dari ayat sebelumnya, berarti secara sekilas dalam pikiran awam kita
ayat (3)dan (4) tersebut seharusnya tidak dipisahkan, ”Bacalah untuk
Tuhanmu yang pemurah dan telah mengajarkan manusia dengan perantaraan
kalam’,(Qs. Al-Alaq (96): 4). Keterpisahan tersebut mengundang tanya bagi
kita yang membacanya, karena itu setelah merangkai ayat (3) dengan Surat
Al-Qalam ayat (1), mengakibatkan perluasan makna Al-qur’an dari yang semata
verbal dan skriptural menjadi sesuatu yang eksistensial dan fenomenologis.
Karena bagaimana pun mengintertekstualisasikan kompleksitas teks dengan teks
yang lainnya, dalam keadaan tidak memiliki hubungan sejarah, konteks yang
berbeda mengkonstruksi realitas sejarah yang berbeda dengan saat ayat ini
diturunkan. Dalam ayat ini, kita diperkenalkan dengan Rabb berikut yang
mensifati-Nya, dan diberikan celah untuk memahami perbuatan-Nya serta
menjangkau-Nya dengan membekali kita kemampuan untuk memahami Teks (ayat
qauliyah), Realitas (ayat Kauniyyah) dan Ide (bayan) serta merangkainya dalam
hikmah sebagai titik dasar memperoleh ilmu, melalui sejarah, dan guratan di
semesta serta pengalaman ruhaniyah yang hanya dapat dirasakan sesuai kedekatan
dengan Allah dan penyerahan pada ilmu-Nya. Seperti halnya dalam terdapat
pernyataan dengan menggunakan kalimat ‘mereka akan bertanya kepadamu’,
menunjukan bahwa terdapat prevensi pengetahuan, artinya sebelum peristiwa
tersebut ditanyakan telah diketahui sebelumnya.
Terkait dengan hal disebutkan diatas, jika
dihubungkan dengan surat Al-Qalam dapat kita uraikan bahwa Al-qur’an dari awal
turunnya merupakan sebuah titik sejarah ilmu pengetahuan yang ditujukan agar
manusia membangun peradabannya melalui menulis dan inskripsi-inskripsi
pengetahuan itu diwariskan sebagai kehendak-Nya yang mengajarkan Hikmah dan Din
dari masa ke masa dengan pelantaraan kalam, yang dengan guratannya ‘dicatat’
setiap ciptaan-Nya, Dia mengetahui segala sesuatu hingga tidak ada selembar
daun pun yang jatuh di muka bumi ini kecuali termaktub dalam kitab yang berada
di Lauh-Mahfuz, seperti halnya Rasulullah, tak pernah menyangka bahwa peristiwa
Nubbuwah di gua Hira’ tersebut akan terus berlanjut sepanjang hidupnya,
melewati waktu lebih kurang dua puluh tiga tahun komunikasi yang transenden
antara dirinya dan Tuhan terus berlangsung, mendampinginya dalam setiap keadaan
hingga akhirnya terputus dan hilang sesuai dengan penyempurnaan wahyu dan
tugasnya, kita masih terus mencari makna terdalam dari keagungan wahyu ilahi
tersebut.
Mengajarkan manusia hal apapun yang tak pernah
diketahui,
Ayat (5) adalah penutup kontak pertama dengan alam
tertinggi, menurut Sayyid Quthb, peristiwa ini adalah awal mula dijelaskan
konsepsi keimanan, awal dari ilmu pengetahuan diajarkan dan dari ilmu itu
lahirlah ilmu-ilmu lain. Inilah pertama kalinya ayat-ayat Al-qur’an yang
diturunkan kepada nabi-Nya dan mengubah pribadinya sejak saat itu serta
mengantarkan paradigma yang selama ini menyelimuti kita, pada keseimbangan di
bawah cahaya Al-qur’an, Ayat-ayat ini adalah bait pertama dan pengantar yang
akan membawa cakrawala kita pada ilmu-ilmu yang lainnya serta menjadi arah
diembannya kenabian dan dimulailah komunikasi yang transenden dengan alam
tertinggi. Proses ini berlangsung seketika seperti hujan yang tanpa sadar
membasahi kepala kita namun membekas berupa rambut yang kuyup, begitulah wahyu
pertama yang mengawali prosesi kenabian tanpa perayaan dan cenderung sederhana.
wa Allahu'alam bish- shawwab.
Penulis: Saeful Rohman
mantapzzzz.....
BalasHapus