Secara
eksplisit, Fazlur Rahman menyebut metode studi Islam yang digunakannya sebagai
metode atau teori hermeneutik (hermeneutical
theory). Namun dari proses dan tujuan yang dikemukakan tampaknya metode
yang digunakan Rahman lebih tepat disebut metode (tafsir) holistik, yakni
pemahaman terhadap al-Qur’an yang menyatu (coherent).
Di samping metode holistik, ada dua
bentuk metode lainnya, yaitu metode atomistik atau parsial (tahlili) dan metode tematik (maudlu’i).
Ada persamaan antara metode tematik
dan holistik, yakni sama-sama menekankan pentingnya pemahaman al-Qur’an dengan
metode silang (cross-referential)
atau metode induktif (manhaj al-istiqra’).
Metode ini kelihatannya diilhami oleh dua konsep umum, yakni: (1) metode
induktif (istiqra’), sebagaimana
diperkenalkan al-Ghazali; dan (2) konsep yang mengatakan: “seluruh al-Qur’an
saling menafsirkan” (one part of the
Qur’an interprets another/ ).
Adapun perbedaaannya adalah, bahwa
metode tematik lebih menekankan pada pembahasan topik demi topik atau surah
demi surah dalam al-Qur’an. Sementara metode holistik menekankan pada upaya
menemukan ruh (spirit) atau
prinsip-prinsip umum al-Qur’an secara keseluruhan. Karenanya ayat-ayat
al-Qur’an harus dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh (integrative) dan menyatu (coherent).
Metode penafsiran al-Qur’an
berdasarkan ayat per-ayat yang terpisah-pisah (berdiri sendiri) yang dilakukan
oleh para mufassir klasik (salaf) dan
pertengahan (khalaf), atau metode
parsial (atomistical approach),
mendapat kritik tajam dari Rahman. Menurutnya, penggunaan metode atomistik
mengakibatkan al-Qur’an tidak menghasilkan sebuah “weltanschauung” yang efektif, yakni al-Qur’an sebagai sebuah ajaran
yang utuh dan menyatu serta penuh makna bagi kehidupan manusia dalam segala
aspeknya. Karena itu, sebagai jalan keluar dari masalah yang diakibatkan oleh
penggunaan metode parsial ini Rahman menawarkan teori hermeneutik atau metode
holistik, di mana pentingnya memahami al-Qur’an sebagai satu kesatuan. Pada
gilirannya, al-Qur’an adalah kitab yang diwahyukan sesuai dengan tuntutan
situasi dan kondisi yang dihadapinya, demikian menurut Rahman.
Dalam pandangan Rahman, ayat-ayat
al-Qur’an terbagi kepada dua kelompok besar: (1) Sejumlah ayat yang memuat
prinsip-prinsip umum dan jumlahnya terbatas; dan (2) Ayat-ayat yang kasuistik,
yang secara khusus menjawab masalah-masalah yang muncul ketika itu dan
jumlahnya mayoritas. Kedua kelompok ayat ini menuntut al-Qur’an: (1) untuk
realistis dalam menyelesaikan problematika yang dihadapi masyarakat Arab ketika
masa pewahyuan sebagai objek wahyu di satu sisi; (2) pada sisi lainnya,
memberikan prinsip-prinsip umum agar tetap relevan dengan tuntutan dan
kebutuhan zaman dan tempat, karena posisinya sebagai kitab wahyu yang universal
tanpa batas waktu dan tempat.
Ada dua hal pokok yang ditawarkan
Rahman dalam rangka menemukan prinsip-prinsip umum al-Qur’an dan mengkontekskannya
dengan situasi kekinian, yang terkenal dengan istilah “gerakan ganda” (double movement), yaitu: (1) berangkat
dari kasus konkret yang ada dalam al-Qur’an untuk menemukan prinsip-prinsip
umum; dan (2) berangkat dari prinsip umum untuk kemudian kembali ke kasus
khusus yang dihadapi sekarang dengan memperhatikan kondisi sosial yang ada.
Adapun cara memahami makna ayat-ayat
al-Qur’an ialah dengan mempelajari situasi dan masalah-masalah yamg
melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an, meliputi keadaan masyarakat, agama,
kebudayaan dan institusi-institusi di mana ayat al-Qur’an diwahyukan. Latar
belakang yang paling pokok, menurut Rahman, ialah kegiatan dan kehidupan Nabi
Muhammad SAW. selama kurang lebih dua puluh tiga tahun, serta latar belakang
kehidupan masyarakat Arab ketika itu. Dengan memahami semua unsur-unsur di
atas, berarti telah membantu seseorang memahami pesan al-Qur’an sebagai
keseluruhan.
Untuk tercapainya tujuan penemuan
pemahaman al-Qur’an yang menyatu, Rahman membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi
dua, yaitu: (1) ayat-ayat yang berhubungan dan membicarakan masalah teologi;
dan (2) ayat-ayat tentang masalah etik, yang di dalamnya memuat ayat-ayat hukum.
Lebih jauh lagi, tulis Rahman, ajaran dasar (basic elan) dari al-Qur’an adalah monoteis (monoteism), keadilan sosial ekonomi (social-economic justice) dan kesetaraan (egalitarianism). Ketiga ajaran dasar ini
adalah merupakan prinsip umum, demikian Rahman.
Dalam praktek memahami al-Qur’an
secara holistik, diperlukan penekanan pada tiga unsur, yaitu: (1) konteks ayat;
(2) komposisi dan gramatika ayat; dan (3) menjadikan semua teks ayat al-Qur’an
sebagai satu kesatuan yang menyatu dan tidak terpisahkan (weltanschauung).
Dari penjelasan di atas dapat
dilihat tujuan utama pemahaman al-Qur’an dengan menggunakan metode holistik
Rahman adalah:
1. Untuk
menemukan prinsip-prinsip umum al-Qur’an, yang oleh sebagian ilmuwan, misalnya
Syed Ameer Ali, disebut sebagai “spirit” al-Qur’an (Islam).
2. Mencoba
mengaplikasikan prinsip-prinsip umum al-Qur’an tersebut sesuai dengan konteks
dan situasi, kapan dan di mana akan diaplikasikan.
3. Untuk
menghindari masalah pertentangan yang terjadi antara satu ayat dengan ayat lain
dalam al-Qur’an, seperti sering terjadi ketika menggunakan metode parsial (atomistical approach).
Sebagai kesimpulan dari resume
(ikhtisar) ini, yaitu sebagai berikut:
Pertama,
Lahirnya metode holistik berangkat dari kekecewaan Rahman terhadap metode
atomistik yang dikembangkan oleh para ilmuwan sebelumnya, yang dianggapnya
kurang tepat. Kedua, Metode holistik Rahman sangat menekankan pentingnya
pendekatan sejarah untuk memahani konteks ayat. Ketiga, Menurut Rahman
ayat-ayat al-Qur’an dapat dibagi menjadi dua: prinsipil dan kasuistik.
Sejalan dengan Rahman, al-Tahir
al-Haddad membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua kelompok: (1) ayat-ayat yang
mengandung ajaran prinsip umum, yakni norma yang bersifat universal, yang harus
berlaku dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain; dan (2)
ayat-ayat yang mengandung ajaran atau perintah yang aplikasinya tergantung pada
konteks sosial.
Sementara itu, Asghar Ali Engineer
membedakannya kepada: (1) pernyataan-pernyataan umum sebagai ayat normatif; dan
(2) ayat-ayat kasuistik sebagai ayat-ayat kontekstual. Menurut Engineer, selalu
ada dialektik antara elemen empirik dan ideologi. Syari’ah merupakan sintesa
dari unsur yang kontekstual dan unsur yang normatif dari wahyu (text).
Maksud pemilahan antara ayat-ayat
normatif di satu sisi dan ayat-ayat kontekstual di sisi lain ialah untuk
memudahkan memahami dengan indikasinya masing-masing, yang sifatnya relatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar