Welcom to...........

HMI Komisariat Ahmad Dahlan I (ADI)

Minggu, 01 Januari 2012

(Jangan-jangan) Islam Itu (Memang) Benar


HMI punya azas Islam. Kalau memang Islam, kenapa banyak kader HMI yang tak mau shalat? Mengapa banyak diskusi HMI yang tanpa referensi Quran dan Sunah? Mengapa banyak kader HMI yang tak bisa baca Quran, apalagi memahaminya, lantas mempraktikannya? Parahnya, gosip-gosip miring seputar kemesuman sudah mentradisi alias biasa saja. Apa yang salah?
Ada yang bilang, HMI itu menolak kerangka formal syariat an sich. Makanya, kader HMI banyak yang berpola pikir substantif. Kenyataannya, banyak yang kebablasan menyepelekan syariat. Trus, ada yang ngomong, kalau pemahaman HMI itu inklusif. Artinya, bisa menerima semua pemikiran Islam dan menolak sektarian atau fanatisme kelompok dalam Islam, bahkan kelompok bangsa. Hal tersebut diwujudkan dalam prinsip independensi etis dan organisasi. Cuma, kenapa banyak yang ikut-ikutan ke pola baru di luar Islam seperti isme-isme, kepentingan kelompok, atau patron tertentu. Itu kan bukan referensi Islam, meski di aspek turunan, semisal dijadikan sebagai akses gerakan, itu sih sah-sah saja.
Nah, semua tahu, kalau HMI sekarang keberatan beban sejarah. HMI yang pernah ikut mengusir penjajah, HMI yang getol menyuarakan pembubaran PKI bahkan bertempur membasminya, HMI yang punya Nur Cholish Madjid, hanya menyisakan kesimpulan kekinian, bahwa HMI adalah organisasi yang tak punya karakter. Bagaimana mungkin,  organ mahasiswa ekstra universiter tertua yang berazaskan Islam, tetapi diperlukan karakter identitasnya, yang terang-terang Islam. Bahasa kasarnya, HMI sudah tidak Islam. Malah, HMI sudah ‘dianggap’ kafir oleh beberapa kelompok Muslim sendiri.
Eh, setelah KAMMI muncul, HMI kebingungan memilih platform gerakan yang telah diambil mereka. Ya, KAMMI memilih Islam dan bisa terbukti.
Sudah selesaikah HMI?
Ya sudah, langkah pertama menyelesaikan persoalan adalah dengan mengakuinya. Setelah itu, refleksi dan kritis.

Islam di Arena Materialisme Global


SETELAH kekhilafahan Islam hancur, umat Muslim hancur sehancur-hancurnya. Mereka tak lagi percaya diri untuk mengatakan bahwa mereka adalah kaum terbaik terakhir. Wajar, trauma ini sudah banyak terbukti dahsyat. Bahkan sekarang, tinggal Mesir dan Iran rujukan sisa-sisa peradaban Islam. Irak, Suriah, Spanyol, sudah tak bisa diharapkan.
Wajar pula semisal generasi Islam selanjutnya seperti generasi yang reaksioner, gampang kaget, dan terpengaruh hal-hal baru.
Barat memilih standar materialisme untuk melakukan perubahan. Itu berefek besar pada kaum Muslimin. Maka biasanya, orang-orang Islam akan menyimpulkan bahwa nash-nashnya benar, setelah melegitimasi kaidah material tersebut. Contoh, setelah proyek-proyek intuitif barat seperti IQ, EQ, SQ, ESQ, dan New Age begitu menggejala, maka kaum Muslim baru sadar bahwa akidah Islam memang bukan perkara sederhana.
Lantas, kalau sudah tahu begitu, kenapa Muslimin masih saja tidak percaya diri mengatakan bahwa Islam adalah kekuatan nilai yang sempurna? Atau, ini hanya strategi? Sebab, di dunia ini harus ada penghormatan terhadap keyakinan. Semacam, upaya pencitraan. Yah, kalau Muslim baik kelakuannya, berarti kan Islam lebih gampang dipercaya. Tapi, kalau memang strategi, efek seperti akhlak dan produktivitas kaum Muslimin kok tak bisa dianggap layak? Mana yang lantas dipercaya?
Oke, nilai itu bisa dianggap benar bila setidaknya memiliki tiga kriteria. Pertama, ia harus membebaskan. Maksudnya, ketika meyakini sesuatu, seseorang tidak merasa terkungkung dengan keyakinannya itu. Kedua, ia harus membuat nyaman. Setelah meyakininya, manusia akan merasa, bahwa hidupnya nyaman, tidak merasa dirongrong oleh ambisi rendah apa pun. Ketiga, ia harus maslahat atau berguna.

Bagaimana dengan Islam?

SEBENARNYA, Islam adalah produk selesai dalam kerangka nilai. Artinya, meski hanya Allahlah yang selesai, Islam sebagai konsumsi nilai manusia adalah nash yang tidak bisa ditambah atau dikurangi. Bisa jadi beda, hanya karena pendekatan dan sudut pandangnya yang berbeda. Namun, harus dipastikan, bahwa nash sebagai produk ilahiah itu terang tak mungkin dianggap usang atau tidak valid.
Setelah meyakini Islam sebagai produk selesai, seseorang harus berada pada titik kritis terkait dengan interpretasi nash. Oleh karena itu, pola inklusif harus tetap dijalankan sebagai bentuk kemerdekaan pikir dan optimalisasi akal sebagai penyeimbang wahyu. Pola inklusif akan melahirkan sosok moderat yang tidak terburu-buru menyimpulkan, karena ia butuh standar epistemologi yang cukup. Pasca sosok moderat, kekritisan akan lahir dengan sendirinya. Karena, semua hal akan berada di titik dinamis. Target selanjutnya adalah bersatu, lantas membicarakan dan mengagendakan kejayaan Islam sebagai nilai yang paling sempurna.
Tahapan-tahapan tersebut, tentunya tak meninggalkan kaidah otensitas bangsa, yakni Nasionalisme Hindia. Sederhana saja, nilai tak terbatas ruang dan waktu. Artinya, di mana pun dan kapan pun ia akan selalu relevan.

Implementasi


PERTAMA, diskursus penting tentang wacana terkini harus diteruskan dalam bentuk syiar dakwah islamiah yang dipenuhi target-target. Artinya, kader HMI tak hanya senang berdialektika tanpa ada program dakwah jelas, yaitu menyampaikan nilai-nilai ilahiah ke seluruh umat manusia (dakwah).
Kedua, NDP sebagai produk nilai untuk mencapai identitas internal gerakan perlu disempurnakan. Jangan sampai ada kesan, bahwa NDP itu lebih sulit daripada Al-Quran. Sebab, ia bukan Quran baru. Pendekatan pikir rasional-filosofis harus direformulasi dalam kaidah yang lebih kontekstual dan bisa dimengerti.
Ketiga, memasjidkan komisariat.
Keempat, menjadikan HMI sebagai kelompok kritis (intelektual) yang berorientasi sosial-politik. Tentunya, dengan porsi pekaderan dan independensi.
Terakhir, yang benar hanya Allah Swt. Kita tak boleh berlebih-lebihan, juga tidak diperkenankan saling meremehkan.

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah: 143)

Penulis: Arif Giyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar