HMI punya azas Islam. Kalau memang Islam,
kenapa banyak kader HMI yang tak mau shalat? Mengapa banyak diskusi HMI yang
tanpa referensi Quran dan Sunah? Mengapa banyak kader HMI yang tak bisa baca
Quran, apalagi memahaminya, lantas mempraktikannya? Parahnya, gosip-gosip
miring seputar kemesuman sudah mentradisi alias biasa saja. Apa yang salah?
Ada yang bilang, HMI itu menolak
kerangka formal syariat an sich. Makanya,
kader HMI banyak yang berpola pikir substantif. Kenyataannya, banyak yang
kebablasan menyepelekan syariat. Trus, ada yang ngomong, kalau pemahaman HMI
itu inklusif. Artinya, bisa menerima semua pemikiran Islam dan menolak
sektarian atau fanatisme kelompok dalam Islam, bahkan kelompok bangsa. Hal
tersebut diwujudkan dalam prinsip independensi etis dan organisasi. Cuma,
kenapa banyak yang ikut-ikutan ke pola baru di luar Islam seperti isme-isme,
kepentingan kelompok, atau patron tertentu. Itu kan bukan referensi Islam,
meski di aspek turunan, semisal dijadikan sebagai akses gerakan, itu sih
sah-sah saja.
Nah, semua tahu, kalau HMI sekarang
keberatan beban sejarah. HMI yang pernah ikut mengusir penjajah, HMI yang getol
menyuarakan pembubaran PKI bahkan bertempur membasminya, HMI yang punya Nur Cholish
Madjid, hanya menyisakan kesimpulan kekinian, bahwa HMI adalah organisasi yang
tak punya karakter. Bagaimana mungkin,
organ mahasiswa ekstra universiter tertua yang berazaskan Islam, tetapi
diperlukan karakter identitasnya, yang terang-terang Islam. Bahasa kasarnya,
HMI sudah tidak Islam. Malah, HMI sudah ‘dianggap’ kafir oleh beberapa kelompok
Muslim sendiri.
Eh, setelah KAMMI muncul, HMI
kebingungan memilih platform gerakan yang telah diambil mereka. Ya, KAMMI
memilih Islam dan bisa terbukti.
Sudah selesaikah HMI?
Ya sudah, langkah pertama menyelesaikan
persoalan adalah dengan mengakuinya. Setelah itu, refleksi dan kritis.
Islam di Arena Materialisme Global
SETELAH kekhilafahan
Islam hancur, umat Muslim hancur sehancur-hancurnya. Mereka tak lagi percaya
diri untuk mengatakan bahwa mereka adalah kaum terbaik terakhir. Wajar, trauma
ini sudah banyak terbukti dahsyat. Bahkan sekarang, tinggal Mesir dan Iran
rujukan sisa-sisa peradaban Islam. Irak, Suriah, Spanyol, sudah tak bisa
diharapkan.
Wajar pula semisal generasi Islam
selanjutnya seperti generasi yang reaksioner, gampang kaget, dan terpengaruh
hal-hal baru.
Barat memilih standar materialisme untuk
melakukan perubahan. Itu berefek besar pada kaum Muslimin. Maka biasanya,
orang-orang Islam akan menyimpulkan bahwa nash-nashnya benar, setelah
melegitimasi kaidah material tersebut. Contoh, setelah proyek-proyek intuitif
barat seperti IQ, EQ, SQ, ESQ, dan New
Age begitu menggejala, maka kaum Muslim baru sadar bahwa akidah Islam
memang bukan perkara sederhana.
Lantas, kalau sudah tahu begitu, kenapa
Muslimin masih saja tidak percaya diri mengatakan bahwa Islam adalah kekuatan
nilai yang sempurna? Atau, ini hanya strategi? Sebab, di dunia ini harus ada
penghormatan terhadap keyakinan. Semacam, upaya pencitraan. Yah, kalau Muslim
baik kelakuannya, berarti kan Islam lebih gampang dipercaya. Tapi, kalau memang
strategi, efek seperti akhlak dan produktivitas kaum Muslimin kok tak bisa
dianggap layak? Mana yang lantas dipercaya?
Oke, nilai itu bisa dianggap benar bila
setidaknya memiliki tiga kriteria. Pertama, ia harus membebaskan. Maksudnya,
ketika meyakini sesuatu, seseorang tidak merasa terkungkung dengan keyakinannya
itu. Kedua, ia harus membuat nyaman. Setelah meyakininya, manusia akan merasa,
bahwa hidupnya nyaman, tidak merasa dirongrong oleh ambisi rendah apa pun.
Ketiga, ia harus maslahat atau berguna.
Bagaimana dengan Islam?
SEBENARNYA, Islam adalah produk selesai dalam
kerangka nilai. Artinya, meski hanya Allahlah yang selesai, Islam sebagai konsumsi
nilai manusia adalah nash yang tidak bisa ditambah atau dikurangi. Bisa jadi
beda, hanya karena pendekatan dan sudut pandangnya yang berbeda. Namun, harus
dipastikan, bahwa nash sebagai produk ilahiah itu terang tak mungkin dianggap
usang atau tidak valid.
Setelah meyakini Islam sebagai produk
selesai, seseorang harus berada pada titik kritis terkait dengan interpretasi
nash. Oleh karena itu, pola inklusif harus tetap dijalankan sebagai bentuk
kemerdekaan pikir dan optimalisasi akal sebagai penyeimbang wahyu. Pola
inklusif akan melahirkan sosok moderat yang tidak terburu-buru menyimpulkan,
karena ia butuh standar epistemologi yang cukup. Pasca sosok moderat,
kekritisan akan lahir dengan sendirinya. Karena, semua hal akan berada di titik
dinamis. Target selanjutnya adalah bersatu, lantas membicarakan dan
mengagendakan kejayaan Islam sebagai nilai yang paling sempurna.
Tahapan-tahapan tersebut, tentunya tak
meninggalkan kaidah otensitas bangsa, yakni Nasionalisme Hindia. Sederhana
saja, nilai tak terbatas ruang dan waktu. Artinya, di mana pun dan kapan pun ia
akan selalu relevan.
Implementasi
PERTAMA,
diskursus penting tentang wacana terkini harus diteruskan dalam bentuk syiar
dakwah islamiah yang dipenuhi target-target. Artinya, kader HMI tak hanya
senang berdialektika tanpa ada program dakwah jelas, yaitu menyampaikan
nilai-nilai ilahiah ke seluruh umat manusia (dakwah).
Kedua, NDP sebagai produk nilai untuk
mencapai identitas internal gerakan perlu disempurnakan. Jangan sampai ada
kesan, bahwa NDP itu lebih sulit daripada Al-Quran. Sebab, ia bukan Quran baru.
Pendekatan pikir rasional-filosofis harus direformulasi dalam kaidah yang lebih
kontekstual dan bisa dimengerti.
Ketiga, memasjidkan komisariat.
Keempat, menjadikan HMI sebagai kelompok
kritis (intelektual) yang berorientasi sosial-politik. Tentunya, dengan porsi
pekaderan dan independensi.
Terakhir, yang benar hanya Allah Swt.
Kita tak boleh berlebih-lebihan, juga tidak diperkenankan saling meremehkan.
Dan demikian (pula) Kami
telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah:
143)
Penulis: Arif Giyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar