Sekarang tidak dapat disangsikan lagi kehidupan
kampus masih dari yang dicita-citakan bersama sebagai basis gerakan
intelektual. Kehidupan kampus kini mengalami stagnasi dialektika pemikiran di
kalangan aktifis kampus. Organisasi kemahasiswaan (ormawa) sebagai wadah
pengembangan mahasiswa dalam minat dan bakat keilmuan juga terjebak pada
rutinitas kegiatan organisasi projec program kerja, yang seolah tak dapat
dibedakan dengan event organaizer. Dikatakan mengalami stagnasi karena dalam
praktek kegiatan organisasi sudah tidak menampak lagi geliat untuk melahirkan
budaya intelektual kritis yang progresif. Bila ada pun itu sebatas pada
formalitas yang temporal sebagai pelengkap bunga organisasi dan tidak berjalan
secara kontinueyang dapat melahirkan satu konsepsi dalam memnbangun dinamika
kampus. Atau hanya dilakukan oleh satu kelompok organ kampus, sehingga
penalaahan muatan pembahasan tidak bejalan mendalam dan hanya di lihat dari
satu sudut persepektif.
Sangat ironi
bila kampus sebagai basis intelektual mengalami stagnasi dalam budaya kritis
progres. Padahal bila menilik pada sejarah kota Solo adalah sebuah kota yang
dikenal sebagai ibukota revolusi. Karena di kota inilah tonggak sejarah
dinamika dalam perjalan bangsa lahir dan tercetuskan. Begitu pula Universitas
Muhammadiyah Surakarta sebagai salah satu kampus terbesar di kota Solo yang
sudah tercatat dalam tinta emas sejarah pergolakan pergerakan intelektual
mahasiswa. Apakah hal ini hanya akan menjadi sebuah mitos yang hanya akan
menjadi cerita yang lewat begitu saja pada generasi era yang akan datang. Saya
pikir budaya intelektual kritis harus segera dibangun agar kemandulan ini tidak
menjadi desease infection yang
mengkronis dan menjangkit pemikiran aktifis kampus.
Hal yang lebih
memprihatinkan yaitu ketika pesta demokrasi pemilihan umum mahasiswa. Kita hanya
bisa mengembuskan nafas sejenak dengan melihat
jumlah pemilih yang tak lebih dari 30% jumlah keseluruhan mahasiswa. Ada indikasi
bahwa aktifitas dikampus kini tidak menarik hati mahasiswa secara umum, atau karena
dalam prosesi aktifitas organisasi kampus sudah tidak dapat menjawab kebutuhan
masyarakat kampus. Selain itu aktifis sebagai stackhoulder pemerintahan kampus juga tidak memberikan satu
konsepsi dalam membangun kehidupan kampus.
Persolaan-pesoalan
mandegnya dinamika kampus, seharusnya dapat diselesaikan dengan adanya sebuah
keterbukaan dialog yang dilaksanakan secara integral dari semua komponen
masyarakat kampus. Baik organasasi intra ataupun organisasi ekstra. Agar budaya
intelektual kritispun tumbuh kembali dalam lingkunagan kehidupan kampus. Namun
kemudian yang menjadi persoalaan adalah hal seperti ini ditanggapi dengan sudut
pandang persepektif negatif. Di mana dimulainya kecurigaan antar sesama
aktifis. Di satu sisi wajah kehidupan kampus mengalami kemandulan dalam dialektika
intelektual. Di sisi yang lain tidak ada keterbukaan dialog yang semakin
menambah terpelosoknya konstruksi pemikiran yang kritis. Hanya karena
persoaalan yang sangat kecil yang tidak memiliki efek positif.
Ketidakterbukaan
dialog ini tidak dilatarbelakangi kerangka berfikir cerdas seperti halnya
seorang mahasiswa yang selalu mengedepankan dialog, namun lebih menampakan
egosentris organ dan golongan. Yang ada didalam merasa bahwa kampus adalah
miliknya secara golongan dengan mengatasnamakan statuta sebagai alat apologi
dalam kebenaran subjektif. Dan satu lagi yang merasa memiliki dan
berkepentingan dalam dinamika kampus tidak memiliki tempat. Kasus ini sejenak
mengingatkan pada persolaan yang menimpa persepakbolaan yang di tanah air.
Sungguh aneh namun nyata adanya. Bergelit karena sebuah ketakutan yang sama
sekali tidak mendasar, di tengah kehidupan kampus yang sedang stagnan dan
krisis intelektual.
Seharusnya
membangunkan kembali dinamika kampus tidak hanya disikapi dengan saling
melakukan pembenaran pada masing –masing organ. Karena sebuah persepektif
pemikiran tidak dapat diseragamkan satu warna pemikiran. Karena pada hakekatnya
sebuah perbedaan adalah sebuah kekayaan dalam membangun kekuatan intelektual
kampus. Sehingga kampus sebagai basis masa intelektual kampus kembali pada
khitoh perjuangan yang telah disematkan kepada mahasiswa sebagai agent of moral force. Fungsi inilah yang
seharusnya lebih penting menjadi perhatian di tengah kondisi bangsa yang sedang
mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Dan juga ketidakhadiran pemimpin
dalam mengemban tugas negara.
Dalam melakukan
konstruksi pemikiran untuk menuju dinamika kampus yang kritis dan progresif
sesuai dengan jargon kampus “Wacana
Keilmuan Dan Keislaman” perlu suatu pengembangan dalam bentuk dialog.
Dialog ini sendiri dituntut untuk berjalan secara cerdas, atau jika tidak ini
sendiri tidak akan menghasilkan pemikiran yang kreatif. Dialog cerdas saja tidak cukup, jika hanya
dilakukan oleh satu golongan dan hanya berhenti pada tanda tanya. Dialog ini
dapat berbuah jika tidak dilakukan secara integral oleh semua kelompok sehingga
suatu persoalaan dapat dilihat berbagai persepektif dan dapat mengahsilkan
titik konklusi konsepsi sebagai benang merah kusutnya kampus yang mandul
pemikiran dalam kalangan aktifis kampus.
Saya kira bila
dialog integal ini dapat menjadi kesadaran bersama, tidak menutup kemungkinan
cita – cita dalam membangun dinamika kampus yang stagnan ini akan menjadi satu
keniscayaan. Karena pada dasarnya kesadaran adalah sebuah nilai dari setiap
manusia yang terbebaskan dari belenggu konstruksi sosial yang mentradisi. Upaya
– upaya inilah yang akan menepis semua perbedaan perspektif, dan bukan berarti
satu dalam menyikapi kampus untuk cita-cita bersama atas nama kepentingan
mahasiswa dan masyarakat. Dengan inilah sebuah perbedaan antara persamaan (ekualitas) dan persaudaraan
(brotherhood) sangat jelas. Persamaan adalah sebuah istilah hukum, sedangkan
persaudaraan merupakan penegasan esensi yang identik dalam sebuah umat manusia
terlepas dari latar belakang organ, suku, ras dan asalnya.
Bila persoalan
ini tidak menjadi satu kesadaran bersama untuk mengembalikan pada posisi kampus
yang ideal. Boleh dikatakan kalao kita adalah golongan orang – orang yang
terkunggung dalam sebuah ketakutan dan budaya konserfatif yang tidak
menginginkan sebuah progresifitas dalam berfikir dan bergerak. Atau kesadaran
yang ada hanya masih sebatas pada kesadaran naif dan kesadaran gerakan
progresifitas intelektual hanya ada dalam dunia ide onani pemikiran.
Ini adalah
kritik bersama yang merupakan satu bentuk upaya untuk melakukan gerakan
pembaharuan dalam menghadapi persoalan stagnasi pemikiran yang melanda dunia
kampus. Semoga kita semua akan tercerahkan. Tangan
Terkepal Maju Kemuka Abadi Perjuangan Dan
Yakin Usaha Sampai..!!!
Penulis: Supriyono As Soka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar