Welcom to...........

HMI Komisariat Ahmad Dahlan I (ADI)

Sabtu, 07 Januari 2012

DIALOG INTEGRAL Alternatif Kebuntuan Dinamika Kampus


Sekarang tidak dapat disangsikan lagi kehidupan kampus masih dari yang dicita-citakan bersama sebagai basis gerakan intelektual. Kehidupan kampus kini mengalami stagnasi dialektika pemikiran di kalangan aktifis kampus. Organisasi kemahasiswaan (ormawa) sebagai wadah pengembangan mahasiswa dalam minat dan bakat keilmuan juga terjebak pada rutinitas kegiatan organisasi projec program kerja, yang seolah tak dapat dibedakan dengan event organaizer. Dikatakan mengalami stagnasi karena dalam praktek kegiatan organisasi sudah tidak menampak lagi geliat untuk melahirkan budaya intelektual kritis yang progresif. Bila ada pun itu sebatas pada formalitas yang temporal sebagai pelengkap bunga organisasi dan tidak berjalan secara kontinueyang dapat melahirkan satu konsepsi dalam memnbangun dinamika kampus. Atau hanya dilakukan oleh satu kelompok organ kampus, sehingga penalaahan muatan pembahasan tidak bejalan mendalam dan hanya di lihat dari satu sudut persepektif.
Sangat ironi bila kampus sebagai basis intelektual mengalami stagnasi dalam budaya kritis progres. Padahal bila menilik pada sejarah kota Solo adalah sebuah kota yang dikenal sebagai ibukota revolusi. Karena di kota inilah tonggak sejarah dinamika dalam perjalan bangsa lahir dan tercetuskan. Begitu pula Universitas Muhammadiyah Surakarta sebagai salah satu kampus terbesar di kota Solo yang sudah tercatat dalam tinta emas sejarah pergolakan pergerakan intelektual mahasiswa. Apakah hal ini hanya akan menjadi sebuah mitos yang hanya akan menjadi cerita yang lewat begitu saja pada generasi era yang akan datang. Saya pikir budaya intelektual kritis harus segera dibangun agar kemandulan ini tidak menjadi desease infection yang mengkronis dan menjangkit pemikiran aktifis kampus.
Hal yang lebih memprihatinkan yaitu ketika pesta demokrasi pemilihan umum mahasiswa. Kita hanya bisa  mengembuskan nafas sejenak dengan melihat jumlah pemilih yang tak lebih dari 30% jumlah keseluruhan mahasiswa. Ada indikasi bahwa aktifitas dikampus kini tidak menarik hati mahasiswa secara umum, atau karena dalam prosesi aktifitas organisasi kampus sudah tidak dapat menjawab kebutuhan masyarakat kampus. Selain itu aktifis sebagai stackhoulder pemerintahan kampus juga tidak memberikan satu konsepsi dalam membangun kehidupan kampus.
Persolaan-pesoalan mandegnya dinamika kampus, seharusnya dapat diselesaikan dengan adanya sebuah keterbukaan dialog yang dilaksanakan secara integral dari semua komponen masyarakat kampus. Baik organasasi intra ataupun organisasi ekstra. Agar budaya intelektual kritispun tumbuh kembali dalam lingkunagan kehidupan kampus. Namun kemudian yang menjadi persoalaan adalah hal seperti ini ditanggapi dengan sudut pandang persepektif negatif. Di mana dimulainya kecurigaan antar sesama aktifis. Di satu sisi wajah kehidupan kampus mengalami kemandulan dalam dialektika intelektual. Di sisi yang lain tidak ada keterbukaan dialog yang semakin menambah terpelosoknya konstruksi pemikiran yang kritis. Hanya karena persoaalan yang sangat kecil yang tidak memiliki efek positif.
Ketidakterbukaan dialog ini tidak dilatarbelakangi kerangka berfikir cerdas seperti halnya seorang mahasiswa yang selalu mengedepankan dialog, namun lebih menampakan egosentris organ dan golongan. Yang ada didalam merasa bahwa kampus adalah miliknya secara golongan dengan mengatasnamakan statuta sebagai alat apologi dalam kebenaran subjektif. Dan satu lagi yang merasa memiliki dan berkepentingan dalam dinamika kampus tidak memiliki tempat. Kasus ini sejenak mengingatkan pada persolaan yang menimpa persepakbolaan yang di tanah air. Sungguh aneh namun nyata adanya. Bergelit karena sebuah ketakutan yang sama sekali tidak mendasar, di tengah kehidupan kampus yang sedang stagnan dan krisis intelektual.
Seharusnya membangunkan kembali dinamika kampus tidak hanya disikapi dengan saling melakukan pembenaran pada masing –masing organ. Karena sebuah persepektif pemikiran tidak dapat diseragamkan satu warna pemikiran. Karena pada hakekatnya sebuah perbedaan adalah sebuah kekayaan dalam membangun kekuatan intelektual kampus. Sehingga kampus sebagai basis masa intelektual kampus kembali pada khitoh perjuangan yang telah disematkan kepada mahasiswa sebagai agent of moral force. Fungsi inilah yang seharusnya lebih penting menjadi perhatian di tengah kondisi bangsa yang sedang mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Dan juga ketidakhadiran pemimpin dalam mengemban tugas negara.
Dalam melakukan konstruksi pemikiran untuk menuju dinamika kampus yang kritis dan progresif sesuai dengan jargon kampus “Wacana Keilmuan Dan Keislaman” perlu suatu pengembangan dalam bentuk dialog. Dialog ini sendiri dituntut untuk berjalan secara cerdas, atau jika tidak ini sendiri tidak akan menghasilkan pemikiran yang kreatif.  Dialog cerdas saja tidak cukup, jika hanya dilakukan oleh satu golongan dan hanya berhenti pada tanda tanya. Dialog ini dapat berbuah jika tidak dilakukan secara integral oleh semua kelompok sehingga suatu persoalaan dapat dilihat berbagai persepektif dan dapat mengahsilkan titik konklusi konsepsi sebagai benang merah kusutnya kampus yang mandul pemikiran dalam kalangan aktifis kampus.
Saya kira bila dialog integal ini dapat menjadi kesadaran bersama, tidak menutup kemungkinan cita – cita dalam membangun dinamika kampus yang stagnan ini akan menjadi satu keniscayaan. Karena pada dasarnya kesadaran adalah sebuah nilai dari setiap manusia yang terbebaskan dari belenggu konstruksi sosial yang mentradisi. Upaya – upaya inilah yang akan menepis semua perbedaan perspektif, dan bukan berarti satu dalam menyikapi kampus untuk cita-cita bersama atas nama kepentingan mahasiswa dan masyarakat. Dengan inilah sebuah perbedaan antara  persamaan (ekualitas) dan persaudaraan (brotherhood) sangat jelas. Persamaan adalah sebuah istilah hukum, sedangkan persaudaraan merupakan penegasan esensi yang identik dalam sebuah umat manusia terlepas dari latar belakang organ, suku, ras dan asalnya.
Bila persoalan ini tidak menjadi satu kesadaran bersama untuk mengembalikan pada posisi kampus yang ideal. Boleh dikatakan kalao kita adalah golongan orang – orang yang terkunggung dalam sebuah ketakutan dan budaya konserfatif yang tidak menginginkan sebuah progresifitas dalam berfikir dan bergerak. Atau kesadaran yang ada hanya masih sebatas pada kesadaran naif dan kesadaran gerakan progresifitas intelektual hanya ada dalam dunia ide onani pemikiran.
Ini adalah kritik bersama yang merupakan satu bentuk upaya untuk melakukan gerakan pembaharuan dalam menghadapi persoalan stagnasi pemikiran yang melanda dunia kampus. Semoga kita semua akan tercerahkan. Tangan Terkepal Maju Kemuka Abadi Perjuangan Dan Yakin Usaha Sampai..!!!

Penulis: Supriyono As Soka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar