Welcom to...........

HMI Komisariat Ahmad Dahlan I (ADI)

Sabtu, 14 Januari 2012

Pemikiran Ibnu Taimiyah



Corak pemikiran ibnu taimiyah bersifat empiris dan sekaligus Rasionalis. Empiris maksudnya bahwa ia mengakui kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam pemikiran. dan rasionalis dalam arti ia tidak mempertentangkan antara akal dengan naql (Al-Qur’an dan sunah yang shahih). Ia menolak logika sebagai metode berfikir deduktif yang tidak dapat digunakan untuk mengkaji materi keislaman secara hakiki. Karena baginya ajaran agama sangat rasional dan dapat dipertanggung jawabkan oleh akal. Ibnu taimiyah merupakan ulama yang banyak memberikan pembaharuan khususnya dalam bidang agama. Pembaharuan dalam bidang ilmu agama yang dilakukan oleh ibnu taimiah, antara lain:
Pertama  pemurnian paham tauhid, ia menentang segala bentuk penyakit TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat) menurutnya akidah yang paling benar adalah akidah salaf, akidah yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis. Ia menolak mempersamakan sifat Allah dengan sifat makhluk, dan ia berpendapat bahwa sifat Allah tanpa tamtsil dengan makhluk apapun. Allah adalah tuhan yang satu dan tidak dapat dipersamakan dengan makhluk manapun baik dari sifatnya maupun wujudnya. Beliau juga menentang pendapat yang mengatakan bahwa yaad yang dimiliki Allah seperti yaad yang dimiliki manusia. Karena Allah maha sempurna, sedangkan manusia adalah makhluk yang penuh dengan kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, sangatlah tidak mungkin sesuatu yang sempurna sama dengan yang tidak sempurna.
Kedua ibnu taimiyah menyeru kepada umat muslim untuk menggali kembali Al-Qur’an dan sunah yang telah lama terkubur oleh tradisi dan budaya yang tidak bersumber pada Al-Qur’an dan hadis. Menurut Ibnu taimiyah metode penafsiran Al-Qur’an yang baik adalah penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dan jika tidak didapati dalam Al-Qur’an maka menggunakan metode penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Hadis, dan jika tidak didapati didalam hadis maka dengan perkataan sahabat, dan jika tidak didapati dalam perkataan sahabat maka dengan perkataan para tabi’in, dan jika tidak pula didapati dalam perkataan tabi’in maka dengan ijtihad. Dan dalam menafsirkanAl-Qur’an ibnu taimiyah mengharuskan untuk menggunakan bahasa Al-Qur’an atau hadis.
Ketiga dalam berijtihad ibnu taimiyah melarang taklid atas madzhab dan ulama-ulama terdahulu, ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an harus merujuk langsung pada Al-Qur’an dan hadis, bukan atas madzhab atau ulama, karena ijtihad yang dilakukan oleh para ulama sangat dipengaruhi oleh kondisi social dimana para ulama hidup, sehingga belum tentu sesuai dengan kondisi umat saat ini.
Keempat dalam bidang hukum ibnu taimiyah tidak mendasarkan keputusan pada illat namun pada pada hikmahnya, karena hukum yang didasarkan pada hikmah pasti akan membawa kebaikan dan kemaslahatan. Beda halnya jika keputusan tersebut didasarkan pada illat hanya mengedepankan pada persamaan substansi obyeknya namun belum tentu membawa hikmah dan kebaikan atas keputusan tersebut. 

Oleh: Adhi Nurseto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar