Corak
pemikiran ibnu taimiyah bersifat empiris dan sekaligus Rasionalis. Empiris
maksudnya bahwa ia mengakui kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan
dalam pemikiran. dan rasionalis dalam arti ia tidak mempertentangkan antara
akal dengan naql (Al-Qur’an dan sunah yang shahih). Ia menolak logika sebagai
metode berfikir deduktif yang tidak dapat digunakan untuk mengkaji materi
keislaman secara hakiki. Karena baginya ajaran agama sangat rasional dan dapat
dipertanggung jawabkan oleh akal. Ibnu taimiyah merupakan ulama yang banyak
memberikan pembaharuan khususnya dalam bidang agama. Pembaharuan dalam bidang
ilmu agama yang dilakukan oleh ibnu taimiah, antara lain:
Pertama
pemurnian paham tauhid, ia menentang segala
bentuk penyakit TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat) menurutnya akidah yang
paling benar adalah akidah salaf, akidah yang bersumber dari Al-Qur’an dan
hadis. Ia menolak mempersamakan sifat Allah dengan sifat makhluk, dan ia
berpendapat bahwa sifat Allah tanpa tamtsil dengan makhluk apapun. Allah adalah
tuhan yang satu dan tidak dapat dipersamakan dengan makhluk manapun baik dari
sifatnya maupun wujudnya. Beliau juga menentang pendapat yang mengatakan bahwa yaad yang dimiliki Allah seperti yaad yang dimiliki manusia. Karena Allah
maha sempurna, sedangkan manusia adalah makhluk yang penuh dengan kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan, sangatlah tidak mungkin sesuatu yang sempurna sama
dengan yang tidak sempurna.
Kedua
ibnu
taimiyah menyeru kepada umat muslim
untuk menggali kembali Al-Qur’an dan sunah yang telah lama terkubur oleh
tradisi dan budaya yang tidak bersumber pada Al-Qur’an dan hadis. Menurut Ibnu
taimiyah metode penafsiran Al-Qur’an yang baik adalah penafsiran Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, dan jika tidak didapati dalam Al-Qur’an maka menggunakan
metode penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Hadis, dan jika tidak didapati didalam
hadis maka dengan perkataan sahabat, dan jika tidak didapati dalam perkataan
sahabat maka dengan perkataan para tabi’in, dan jika tidak pula didapati dalam
perkataan tabi’in maka dengan ijtihad. Dan dalam menafsirkanAl-Qur’an ibnu
taimiyah mengharuskan untuk menggunakan bahasa Al-Qur’an atau hadis.
Ketiga
dalam
berijtihad ibnu taimiyah melarang taklid atas madzhab dan ulama-ulama
terdahulu, ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an harus merujuk langsung pada
Al-Qur’an dan hadis, bukan atas madzhab atau ulama, karena ijtihad yang
dilakukan oleh para ulama sangat dipengaruhi oleh kondisi social dimana para
ulama hidup, sehingga belum tentu sesuai dengan kondisi umat saat ini.
Keempat
dalam bidang hukum ibnu taimiyah tidak mendasarkan keputusan pada illat namun
pada pada hikmahnya, karena hukum yang didasarkan pada hikmah pasti akan
membawa kebaikan dan kemaslahatan. Beda halnya jika keputusan tersebut didasarkan
pada illat hanya mengedepankan pada persamaan substansi obyeknya namun belum
tentu membawa hikmah dan kebaikan atas keputusan tersebut.
Oleh: Adhi Nurseto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar