Welcom to...........

HMI Komisariat Ahmad Dahlan I (ADI)

Minggu, 01 Januari 2012

Filsafat Ibnu Sina


 
Abu Ali Husein Ibn Abdillah Ibn Sina lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di dekat Bukhara di tahun 980 M. Orang tuanya berkedudukan pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Samani. Menurut sejarah hidup yang disusun muridnya, Jurjani, dari semenjak kecil Ibn Sina telah banyak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di zamannya, seperti fisika, matematika, kedokteran, hukum dan lain-lain. Sewaktu masih berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter atas panggilan Istana pernah mengobati Pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tuanya meninggal ia pindah ke Juzjan, suatu kota kecil di dekat Laut Kaspia, dan disanalah ia mulai menulis ensiklopedianya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Tibb (- The Canon).
Kemudian ia pindah ke Ray, suatu kota di sebelah selatan Teheran, dan bekerja untuk Ratu Sayyedah dan anaknya Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan (di bagian Barat dan Iran) mengangkat Ibn Sina menjadi menterinya. Kemudian sekali ia pindah ke Isfahan dan meninggal di tahun 1037M.
1.      Falsafat Jiwa
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibn Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagai al-Farabi ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar Akal Pertama, dan dari Akal Pertama memancar akal Kedua dan Langit Pertama; demikian seterusnya sehingga tercapailah Akal Kesepuluh dan bumi. Dari Akal Kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril.
Berlainan dengan al-Farabi Ibn Sina berpendapat bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (                                                                                                          
dan                                 atau necessary by virtue of the Necessary being dan possible in essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga objek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.
Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagai Aristoteles Ibn Sina membagi jiwa dalam tiga bagian:
                   I.      Jiwa tumbuh-tumbuhan (                                            ) dengan daya-daya:
1.      Makan  (                            nutrition)
2.      Tumbuh (             growth)
3.      Berkembang biak (                        reproduction)
                II.      Jiwa binatang (                                               ) dengan daya-daya
1.      Gerak (                                    locomotion)
2.      Menangkap  (                                  perception)
Dengan dua bagian
                                      i.            Menangkap dari luar (                                                ) dengan pancaindera
                                    ii.            Menangkap dari dalam (                                                          ) dengan indera-indera dalam :
                                      i.      Indera bersama (                                             commonsense) yang menerima segala apa yang ditangkap oleh pancaindera
                                    ii.      Representasi (                                                 representation) yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
                                  iii.      Imaginasi (                                                        imagination) yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi
                                  iv.      Estimasi (                                              estimation) yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala
                                    v.      Rekoleksi (                                                   recollection) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi
             III.      Jiwa manusia (                                     ) dengan dua daya :
1.      Praktis (                      practical) yang hubungannya adalah dengan badan
2.      Teoritis (                        atau                             theoretical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
                                      i.            Akal materil (                               material intellect) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
                                    ii.            Intellectus habitu (                                 ) yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak
                                  iii.            Akal Aktuil (                                      ) yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak
                                  iv.            Akal Mustafad (                                     acquired intellect) yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini; akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (                       )
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (                                                                                            
rational soul) yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Dalam hal ini daya praktis (                                       ) mempunyai kedudukan penting. Daya inilah yang berusaha mengontrol badan menjadi halangan bagi daya teoritis (                                     ) untuk membawa manusia kepada tingkatan yang tinggi dalam usaha mencapai kesempurnaan.
Menurut pendapat Ibn Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas darti badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak behajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikirt, jiwa masih berhajat pada badan. Karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berikir. Pancaindera yang lima dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dasar yang perlu baginya, ia tak berhajat lagi pada pertolongan badan, malahan badan dengan daya-daya jiwa binatang yang terdapat dalamnya akan menjadi penghalang bagi jiwa manusia untuk mencapai kesempurnaan. Karena jiwa manusia merupakan satu unit tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Tetapi kedua jiwa lainnya, jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang ada dalam diri manusia, karena hanya mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat fisik dan jasmani akan mati dengan matinya badan dan tak akan dihidupkan kembali dari hari kiamat. Balasan-balasan yang ditentukan bagi kedua jiwa ini diwujudkan di dunia ini juga. Jiwa manusia sebaliknya, karena bertujuan pada hal-hal yang abstrak, tidak akan memperoleh batasan yang harus diterimanya di dunia ini, tetapi kelak di hidup kedua di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan jiwa binatang dan jiwa tumbuh-tumbuhan, adalah kekal. Jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan dan jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, karena semasa bersatu dengan badan ia selalu dipengaruhi oleh hawa nafsu, maka ia akan hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.

2.      Falsafat Wahyu dan Nabi
Sebagai dilihat di atas akal mempunyai empat tingkat dan yang terendah di antaranya ialah akal materil atau                                       Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materil yang besar lagi kuat, yang oleh Ibn Sina diberi nama al-hads (                    ) yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal yang serupa ini mempunyai daya suci (                                    ). Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, dan terdapat hanya pada Nabi-nabi.
3.      Falsafat Wujud
Bagi Ibn Sina sifat wujudnya yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun essensi (                    quitted) sendiri. Essensi, dalam faham Ibn Sina, terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibn Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudlah atau existentialism dari filosof-filosof lain.
 Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
  1. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibn Sina mumtani’ (                       ) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (                             impossible being). Sebagai umpan, adanya sekarang ini, juga kosmos lain disamping kosmos yang ada.
  2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin (                   ) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud (                   ) contingent being.
Contohnya ialah alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
  1. Essensi yang tidak boleh mesti mempunyai wujud. Di sini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud (                                  Necessary Being) yaitu Tuhan. Wajib al-Wujud inilah yang mewujudkan mumkin al-wujud.

Dengan argumen ini Ibn Sina ingin membuktikan adanya Tuhan menurut logika.

Oleh: Miftachul Karimah (Kader AD.1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar