Abu Ali Husein Ibn Abdillah Ibn Sina lahir di Afsyana, suatu tempat yang
terletak di dekat Bukhara
di tahun 980 M. Orang tuanya berkedudukan pegawai tinggi pada pemerintahan
Dinasti Samani. Menurut sejarah hidup yang disusun muridnya, Jurjani, dari
semenjak kecil Ibn Sina telah banyak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada
di zamannya, seperti fisika, matematika, kedokteran, hukum dan lain-lain. Sewaktu
masih berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter atas panggilan Istana
pernah mengobati Pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya.
Setelah orang tuanya meninggal ia pindah ke Juzjan, suatu kota kecil di dekat
Laut Kaspia, dan disanalah ia mulai menulis ensiklopedianya tentang ilmu
kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Tibb (- The Canon).
Kemudian ia pindah ke Ray, suatu kota di sebelah selatan Teheran, dan
bekerja untuk Ratu Sayyedah dan anaknya Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams
al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan (di bagian Barat dan Iran) mengangkat Ibn Sina menjadi
menterinya. Kemudian sekali ia pindah ke Isfahan
dan meninggal di tahun 1037M.
1. Falsafat Jiwa
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibn Sina ialah
falsafatnya tentang jiwa. Sebagai al-Farabi ia juga menganut faham pancaran.
Dari Tuhan memancar Akal Pertama, dan dari Akal Pertama memancar akal Kedua dan
Langit Pertama; demikian seterusnya sehingga tercapailah Akal Kesepuluh dan
bumi. Dari Akal Kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada
di bawah bulan. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Kesepuluh
adalah Jibril.
Berlainan dengan al-Farabi Ibn Sina berpendapat bahwa
Akal Pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari
Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (
dan
atau necessary by virtue of the
Necessary being dan possible in
essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga objek pemikiran: Tuhan, dirinya
sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran
tentang Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib
wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin
wujudnya timbul langit-langit.
Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa
yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagai Aristoteles
Ibn Sina membagi jiwa dalam tiga bagian:
I.
Jiwa tumbuh-tumbuhan ( )
dengan daya-daya:
1.
Makan ( nutrition)
2.
Tumbuh (
growth)
3.
Berkembang biak ( reproduction)
II.
Jiwa binatang (
) dengan daya-daya
1.
Gerak ( locomotion)
2.
Menangkap ( perception)
Dengan dua bagian
i.
Menangkap dari luar ( ) dengan pancaindera
ii.
Menangkap dari dalam (
) dengan indera-indera dalam :
i.
Indera bersama ( commonsense) yang menerima segala apa
yang ditangkap oleh pancaindera
ii.
Representasi (
representation) yang menyimpan
segala apa yang diterima oleh indera bersama
iii.
Imaginasi (
imagination) yang menyusun apa
yang disimpan dalam representasi
iv.
Estimasi (
estimation) yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari
materinya, umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala
v.
Rekoleksi (
recollection) yang menyimpan hal-hal
abstrak yang diterima oleh estimasi
III.
Jiwa manusia ( ) dengan
dua daya :
1.
Praktis ( practical) yang hubungannya adalah dengan badan
2.
Teoritis ( atau theoretical) yang hubungannya adalah
dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
i.
Akal materil ( material intellect) yang semata-mata
mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
ii.
Intellectus
habitu (
) yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak
iii.
Akal Aktuil ( ) yang
telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak
iv.
Akal Mustafad ( acquired
intellect) yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak
dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang telah terlatih begitu rupa,
sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini;
akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal
Aktif ( )
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga
macam jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya.
Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang
itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (
rational soul) yang mempunyai
pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat pada
kesempurnaan.
Dalam hal ini daya praktis ( )
mempunyai kedudukan penting. Daya inilah yang berusaha mengontrol badan menjadi
halangan bagi daya teoritis ( ) untuk
membawa manusia kepada tingkatan yang tinggi dalam usaha mencapai kesempurnaan.
Menurut pendapat Ibn Sina jiwa manusia merupakan satu
unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas darti badan. Jiwa manusia
timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa,
lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tak mempunyai fungsi-fungsi fisik,
dan dengan demikian tak behajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai
daya yang berfikirt, jiwa masih berhajat pada badan. Karena pada permulaan wujudnya
badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berikir. Pancaindera yang lima
dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah seperti indera bersama, estimasi dan
rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dasar yang
perlu baginya, ia tak berhajat lagi pada pertolongan badan, malahan badan
dengan daya-daya jiwa binatang yang terdapat dalamnya akan menjadi penghalang
bagi jiwa manusia untuk mencapai kesempurnaan. Karena jiwa manusia merupakan
satu unit tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Tetapi kedua jiwa
lainnya, jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang ada dalam diri manusia,
karena hanya mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat fisik dan jasmani akan mati
dengan matinya badan dan tak akan dihidupkan kembali dari hari kiamat.
Balasan-balasan yang ditentukan bagi kedua jiwa ini diwujudkan di dunia ini
juga. Jiwa manusia sebaliknya, karena bertujuan pada hal-hal yang abstrak, tidak
akan memperoleh batasan yang harus diterimanya di dunia ini, tetapi kelak di
hidup kedua di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan jiwa binatang dan jiwa tumbuh-tumbuhan,
adalah kekal. Jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan
badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan dan jika ia berpisah dengan
badan dalam keadaan tidak sempurna, karena semasa bersatu dengan badan ia
selalu dipengaruhi oleh hawa nafsu, maka ia akan hidup dalam keadaan menyesal
dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.
2. Falsafat Wahyu dan Nabi
Sebagai dilihat di atas akal mempunyai empat tingkat
dan yang terendah di antaranya ialah akal materil atau Ada kalanya Tuhan
menganugerahkan kepada manusia akal materil yang besar lagi kuat, yang oleh Ibn
Sina diberi nama al-hads (
) yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil serupa ini begitu
besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan
Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal
yang serupa ini mempunyai daya suci ( ). Inilah
bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, dan terdapat hanya pada
Nabi-nabi.
3. Falsafat Wujud
Bagi Ibn Sina sifat wujudnya yang terpenting dan yang
mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun essensi ( quitted) sendiri.
Essensi, dalam faham Ibn Sina, terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di
luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai
kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab
itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa
Ibn Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudlah atau
existentialism dari filosof-filosof lain.
Kalau
dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
- Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibn Sina mumtani’ ( ) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud ( impossible being). Sebagai umpan, adanya sekarang ini, juga kosmos lain disamping kosmos yang ada.
- Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin ( ) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud ( ) contingent being.
Contohnya ialah alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan
akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
- Essensi yang tidak boleh mesti mempunyai wujud. Di sini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud ( Necessary Being) yaitu Tuhan. Wajib al-Wujud inilah yang mewujudkan mumkin al-wujud.
Dengan argumen ini Ibn Sina ingin membuktikan adanya
Tuhan menurut logika.
Oleh: Miftachul Karimah (Kader AD.1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar